Kudus (ANTARA News) - Hakim Mahkamah Konstitusi RI, Mahfud MD, mengatakan, etika berpolitik hanya ada di bangku sekolah atau tercatat di buku saja. Pernyataan tersebut diungkapkan Mahfud ketika membuka acara debat politik dan konstitusi pelajar SLTA dan santri se-eks-Karesidenan Pati dalam rangka se-abad Hari Kebangkitan Nasional, Hardiknas, dan 10 tahun reformasi, di Aula DPRD Kudus, Kamis. "Dalam politik tidak dikenal istilah kawan atau lawan. Yang ada adalah kepentingan dalam politik," katanya. Akibatnya, muncul istilah politik kotor, karena kawan bisa menjadi lawan, sedangkan lawan bisa menjadi kawan sesuai dengan kepentingannya dalam politik saat itu. Politik juga dianggap menjadi penyebab terjadinya korupsi prilaku, waktu, dan kekuasaan. Sedangkan realitas berpolitik kotor, kata dia, merupakan bagian dari cerminan kondisi yang ada di masyarakat. "Masyarakat tidak akan terlepas dari politik. Mau tidak mau, masyarakat akan tetap menjadi bagian dari para politisi tersebut," katanya. Ditegaskannya, segala tindakan yang dilakukan masyarakat merupakan bagian dari tindakan politik. Menurut politisi dari PKB tersebut, salah satu upaya membersihkan politik kotor, hanya bisa dilakukan oleh masyarakat dengan cara terjun atau masuk dan terlibat dalam perpolitikan tersebut melalui partai politik. "Keterlibatan seseorang dalam parpol juga akan memudahkan kontrol terhadap orang-orang dalam parlemen," katanya. Selain itu, peran agama juga penting karena menjadi kendali dan arah yang benar dalam berpolitik, karena politik tanpa agama dapat memunculkan tindakan amoral. Meski realitas perpolitikan di Indonesia demikian mengkhawatirkan banyak pihak, ternyata pesta demokrasi lewat pemilihan langsung berlangsung secara demokratis. "Indikasinya, tidak sampai terjadi pertumpahan darah. Apalagi, sebagian besar masyarakatnya muslim," katanya. Meski demikian pihaknya tidak menyangkal dengan sebutan demokrasi di Indonesia merupakan demokrasi yang transaksional. Artinya, masyarakat tidak akan meramaikan pesta demokrasi tanpa ada imbalan uang. Sedangkan Reiner Henfers, Project Director Fur Die Freiheit (LSM dari Jerman), selaku pembicara kedua menanggapi demokrasi di Indonesia, mengatakan bahwa demokrasi tidak benar jika hanya ditentukan oleh suara mayoritas masyarakat. "Dalam demokrasi, suara masyarakat minoritas pun bisa berperan," katanya. Sedangkan untuk menciptakan demokrasi pada kalangan birokrat, dia menyarankan, harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kekayaan lebih. "Hal itu untuk menghindari upaya pejabat yang ingin memanfaatkan jabatannya untuk mencari kekayaan, hingga mengabaikan makna demokrasi," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008