Jakarta (ANTARA News) - Kalangan investor memburu dolar Amerika Serikat (AS) yang nilai tukarnya menembus angka Rp9.250, menyusul ketidakpastian kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. "Pernyataan Presiden bahwa langkah Pemerintah menaikkan harga eceran BBM sebagai alternatif terakhir multi tafsir," kata Ketua Komite Tetap Kadin Indonesia Bidang Moneter dan Fiskal, Bambang Soesatyo, kepada ANTARA News, di Jakarta, Kamis. Bagi para spekulan di pasar valuta asing (valas), pernyataan Presiden itu, kata dia, ditafsirkan sebagai kebimbangan pemerintah, sehingga dolar AS diburu, dan nilai tukar rupiah tertekan. Bambang khawatir bila nilai tukar rupiah terus anjlok, maka cadangan devisa akan terkuras. Hal itu akan berbahaya bila pada saat yang sama terjadi "out flow" dana asing berjangka pendek ("hot money") dari pasar uang di Indonesia. "Selama Pemerintah tidak segera membuat kepastian tentang harga BBM, para spekulan akan terus menggoyang dan menekan (nilai tukar) rupiah yang otomatis mengangkat (nilai tukar) dolar AS," katanya. Dia mendesak Pemerintah, agar mempertegas pernyataan Presiden, apakah BBM bersubsidi dinaikkan atau tidak, guna memberikan kepastian bagi dunia usaha dan masyarakat. "Pesan yang ditangkap dunia usaha dari tekanan eksternal akhir-akhir ini adalah sebuah kepastian bahwa tren kenaikan harga minyak akan berlanjut," katanya. Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), lanjut Bambang, sudah mengakui tidak punya jalan keluar lagi dan menolak desakan AS serta Eropa untuk menaikkan volume produksi. Bahkan, OPEC menyalahkan krisis ekonomi AS sebagai penyebab lonjakan harga minyak. Setiap kali dolar AS melemah satu persen, kata Bambang, harga minyak naik empat dolar AS per barel. Selain itu belum ada tanda-tanda dolar AS akan menguat. The Fed diprediksi menurunkan lagi suku bunga sebesar 0,25 basis poin menjadi dua persen. "Tetapi, tetap saja langkah itu diragukan mampu mendorong penguatan dolar AS secara signifikan. Faktor-faktor inilah yang

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008