Jakarta (ANTARA) - Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta agar usulan amandemen Undang-undang Dasar 1945 terkait kembali memberikan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak terburu-buru.
"Saya berpandangan GBHN perlu dikaji lebih dalam lagi karena dinamika ekonomi politik global sekarang ini sangat luar biasa, berbeda dengan zaman 20 atau 50 tahun yang lalu. Jadi apakah GBNH ini perlu atau tidak ini harus kita kaji melibatkan seluruh rakyat kita, akademisi juga ikut," kata kata Bambang Soesatyo (Bamsoet) di lingkungan istana kepresidenan Jakarta, Selasa.
Bamsoet pada hari ini bertemu Presiden Joko Widodo di istana kepresidenan karena ingin meminta Presiden Joko Widodo untuk menjadi saksi pernikahan putra ketiganya pada 19 Agustus 2019 di Jakarta.
Baca juga: DPR: Wacana amendemen UUD 1945 jangan untuk kepentingan politik sesaat
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah sebelumnya mengatakan haluan negara yang diusulkan bukan hanya haluan pembangunan nasional oleh pihak eksekutif semata, melainkan juga menghadirkan haluan lembaga-lembaga negara yang wewenangnya diberikan oleh UUD.
"Karena begitu kita putuskan (memunculkan lagi GBHN) maka itu akan mengikat puluhan tahun ke depan karena itu garis besar haluan negara kita, sementara dinamika ekonomi politik global itu sangat cepat, apakah ini masih tepat kita menggunakan platform GBHN? Karena dunia setiap hari berubah," tambah Bamsoet.
Baca juga: MPR siapkan pokok-pokok amandemen terbatas
Ia pun meminta agar lebih dulu dilakukan kajian yang melibatkan seluruh rakyat dan stakholder sebelum melaksanakan amandemen UUD 1945.
"Kalau rakyat membutuhkan kami di parlemen memperjuangkan, tapi kalau rakyat mengatakan tidak membutuhkan karena tidak menjawab tantangan zaman ya kita akan mengikuti kehendak rakyat jadi sebaiknya ada pendalaman dan kajian soal GBHN. Meskipun suara-suara makin nyaring sekarang bahwa dunia ini berubah," jelas Bamsoet.
Istilah GBHN dikenal setelah Presiden Soekarno menyampaikan pidato politik pertama kali menjelang kejatuhan pemerintahannya.
Pidato itu disebut Manipol USDEK, yaitu negara (NKRI) berjuang keras mewujudkan UUD '45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Selanjutnya pidato itu menjadi garis besar haluan negara.
Setelah era Soekarno jatuh, Presiden Soeharto melanjutkan GBHN dan menjadi konsesi ketatanegaraan.
GBHN ada karena presiden dipilih oleh MPR. Lalu MPR memberikan mandat berupa GBHN yang harus dilakukan presiden. Meski begitu, pada prakteknya di era Soekarno dan Soeharto, GBHN dibuat oleh tim presiden lalu diketok oleh MPR sebab MPR dan DPR khususnya era Soeharto tidak efektif karena kekuasaan presiden lebih kuat.
Isi dari GBHN itu sendiri pun tidak ada alat ukur dan targetnya.
Bamsoet juga tidak mendukung soal usulan formasi 10 kursi pimpinan MPR yang sedang berkembang saat ini.
"Kalau ada 10 pimpinan MPR berati harus ada revisi UU MD3 tapi akan sangat rawan karena saya dulu yang mendorong UU MD3 gol seperti sekarang ini dan kembali ketua komposisi ketua DPR 5 dan ketua MPR 5 itu dipertahankan sudah bagus," kata Bamsoet.
Wacana penambahan kursi pimpinan MPR menjadi 10 pertama kali dilontarkan oleh Partai Amanat Nasional (PAN). Wasekjen PAN Saleh Partaonan Daulay menganggap semua partai perlu diakomodasi pos pimpinan MPR.
Usulan formasi 10 kursi pimpinan MPR mendapat respons positif dari Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon. Menurut dia hal itu dapat mengakomodasi seluruh atau sembilan parpol hasil pemilu 2019 yang lolos ke Senayan. Ditambah satu anggota DPD demi menempatkan kader terbaiknya di kursi pimpinan MPR.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019