Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) tidak keberatan untuk diaudit biaya perkara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), selama ada payung hukum Peraturan Pemerintah (PP) Biaya Perkara.
"MA tidak keberatan kalau akan diaudit oleh BPK soal uang biaya perkara, asalkan ada payung hukumnya," kata panitera MA, Sareh Wiyono, di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, keberadaan biaya perkara itu sendiri sudah disepakati oleh BPK dan MA saat dalam pertemuannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun lalu.
Ia mengatakan dalam pertemuan itu sendiri, sudah disepakati oleh BPK bahwa akan menunggu PP Biaya Perkara untuk melakukan audit biaya perkara. Bahkan MA sendiri sudah mengirimkan dua kali surat penjelasan kepada BPK, soal audit biaya perkara itu.
"Nantinya kalau sudah ada PP-nya, terserah apa mau diaudit. MA sendiri tidak tertutup untuk diaudit," katanya.
Sebelumnya, Sareh Wiyono mengatakan biaya perkara itu, bukanlah uang negara melainkan uang pihak ketiga dan jika ada kelebihan maka harus dikembalikan.
Ia juga mengatakan selama ini biaya perkara sendiri sudah masuk ke kas penerimaan negara yang bukan berasal dari pajak, seperti, dari biaya materai dan biaya redaksi.
"Biaya perkara itu digunakan untuk menangani perkara, bahkan kita juga harus kekurangan uang. Kalau kekurangan uang kita mau minta ke mana?" katanya.
Dikatakannya, biaya perkara sendiri untuk kasasi kasus perdata mencapai Rp500 ribu dan perdata khusus sebesar Rp2,5 juta.
Kemudian apa yang dikatakan Ketua BPK soal ada rekening Ketua MA, Bagir Manan sebesar Rp7 miliar, ia mengatakan uang sebesar itu dari mana, karena biaya perkara kasasi selama setahun saja sekitar Rp1,5 miliar dengan perhitungan sekitar 3.500 perkara/tahun yang kemudian dikalikan dengan biaya perkara sebesar Rp500 ribu/kasus. Uang dari biaya perkara itu sendiri tercatat rapi dalam buku induk.
Sebelumnya, BPK akan melaporkan MA ke polisi karena tidak mau diaudit biaya perkara, bahkan BPK juga mengancam akan men"disclaimer"kan (penilaian terburuk akuntan) terhadap laporan keuangan MA pada 2007.
Pada 13 September 2007 juga, BPK telah melaporkan MA ke polisi karena dinilai tidak kooperatif terhadap auditor negara yang ingin memeriksa pungutan biaya perkara 2005-2006 yang seharusnya menjadi penerimaan negara bukan pajak, namun MA menolak diaudit.
Laporan BPK itu dengan menggunakan dasar UUD 1945 Pasal 23, UU 20/1997 tentang PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak), UU 15/2006 dan UU 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara terutama pasal 24 ayat 2.
Pada Pasal 24 ayat 2 tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi atau menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, dipidana dengan hukuman penjara paling lama satu tahun enam bulan dan atau denda sebesar Rp500 juta.
Kemudian perseteruan antara MA dan BPK itu diselesaikan melalui pertemuan antara Presiden dan pemimpin dua lembaga negara tersebut di Istana pada 21-22 September 2007.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008