Bandung (ANTARA News) - Seabad Kebangkitan Nasional pada 2008, merupakan waktu yang tepat untuk merefleksi kembali pengalaman Indonesia dengan kebangkitan nasional dan nasionalisme di masa kontemporer sekarang ini.
Demikian diungkapkan Cendekiawan Muslim dan Direktur Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra pada Seminar 100 Tahun Kebangkitan Nasional di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Selasa.
"Seabad Kebangkitan Nasional waktu yang tepat merefleksi kembali pengalaman Indonesia dengan kebangkitan nasional," katanya.
Lebih lanjut, pria yang juga Deputi Bidang Kesra pada Sekretariat Wapres RI itu menyebutkan, banyak kalangan menilai baik semangat kebangkitan nasional maupun nasionalisme Indonesia tengah mengalami kemerosotan secara signifikan.
Di tengah hiruk pikuk liberalisasi politik dan demokratisasi dalam satu dasawarsa terakhir, tema kebangkitan nasional dan nasionalisme bahkan tidak lagi menjadi wacana publik.
"Nasionalisme tetap relevan, di tengah arus globalisasi yang terus meningkat, justeru nasionalisme perlu direvitalisasi. Kembali digelorakan setiap anak bangsa," kata mantan Rektor UIN itu.
Menurut dia, hanya dengan menggelorakan nasionalisme dan semangat keindonesiaan, Bangsa Indonesia boleh berfikir tentang kebangkitan nasional kedua di masa-masa milenium kedua kebangkitan nasional negara dan bangsa Indonesia.
Ia memaparkan, dengan modernisasi dan "developmentalism", terjadi transisi atau pergeseran bentuk-bentuk nasionalisme. Nasionalisme politik, kecuali dalam bentuk kedaulatan dan keutuhan wilayah, semakin surut. Konflik-konflik yang berakar dari nasionalisme politik di Indonesia semakin berkurang.
"Namun di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural justeru menemukan momentum baru," katanya.
Modernisasi dan industrialisasi yang berlangsung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas mengakibatkan Indonesia dan negara-negara berkembang umumnya harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk proruk industri ekonomi, khususnya di negara maju.
"Di lain fihak globalisasi informasi dan budaya yang dikendalikan negara-negara maju semakin dirasakan mengancam terutama pelunturan nilai-nilai lokal," katanya.
Terkait perkembangan nasionalisme kontemporer di Indonesia, kata Azyumardi sulit memberikan peta yang pasti dan akurat.
"Harus diakui, terdapat semacam kelangkaan studi tentang nasionalisme di Indonesia dalam dasawarsa terakhir," katanya.
Masih langkanya studi tentang subyek ini, mengisyaratkan umumnya para ahli tentang Asia Tenggara agaknya menganggap nasionalisme bukan lagi isu penting bagi kawasan ini.
"Itu mengindikasikan gejolak dan gemuruh nasionalisme yang begitu menyala-nyala sejak awal abad 20-an sampai akhir dekade 1960-an, kini semakin menyurut di Asia Tenggara," demikian Azyumardi Azra.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008