Jakarta (ANTARA News) - Setelah melalui pembahasan yang alot di DPR, maka Rancangan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE), akhirnya disahkan DPR, setelah mengendap hampir 4 tahun.
Payung hukum untuk transaksi elektronik dan hal-hal informasi telematika mempunyai payung hukum, setelah pelaku ekonomi melakukan transaksi bisnis tanpa ada cantelan hukum yang pasti.
Lolosnya RUU ITE juga mengundang tanya? Bagimana tidak, pasal penyebar kebencian (haatzai artikelen) yang gigih diperjuangkan oleh para insan pers "menuju kebebasan berekspresi yang proposional", dengan era reformasi dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang "menghapus pasal-pasal yang memasung kebebasan insan pers", merupakan kemenangan bangsa Indonesia, setelah 35tahun terpasung dengan pasal karet yang dipakai penguasa untuk mengontrol setiap berita dan opini di media cetak dan elektronik.
Pasal 27 ayat 3 RUU ITE yang mengatur ikhwal penghinaan atau pencemaran nama baik lewat distribusi dokumen elektronik secara sengaja. Orang yang melakukan hal ini bisa dihukum penjara 6 (enam) tahun atau denda Rp1 miliar.
Pasal 28 ayat 2 RUU ITE mereka yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku,agama, ras dan antar golongan juga diancam penjara 6 (enam) tahun atau denda Rp 1 milyar .
Pasal ini menjerat siapa saja yang membuat berita "secara online", yang terkena tidak hanya para "blogger", juga para insan pers yang independen dan dari media koran atau majalah yang memuat berita secara online , termasuk para penulis/peneliti yang mengekpresikan media elektronik dan cetak.
Menjadi catatan semua pihak, mengapa pasal pasal karet dan multi tafsir muncul kembali?, secara tidak langsung akan menjadi "alat" penguasa untuk mengontrol, memasung media elektronik dan cetak, karena tidak dijelaskan secara rinci alasan apa pasal tersebut dimunculkan?, kita kembali pada jaman pengekangan tidak hanya insan pers tetapi juga para pemerhati dan penulis yang kerap memberika opini secara kritis dan konstruktif baik di media online atau media cetak, justru akan menjadi bumerang untuk mencicipi pasal pemasungan kebebasan berpendapat ( RUU ITE ) tersebut .
Jika diamati Pasal tersebut , mirip dengan Pasal 154 KUHP tentang larangan penyebaran kebencian dimuka terhadap pemerintah dan Pasal 155 KUHP tentang larangan larangan menyiarkan kebencian terhadap pemerintah, perbedaan pada RUU ITE kebencian terhadap individu atau golongan. Setelah diajukan uji materi kelompok insan pers, Mahkamah Konstitusi mengabulkan untuk mencabut pasal penyebar kebencian dalam KUHP tersebut , semua pasal karet dinilai MK bertentangan dengan kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Sikap Pemerintah yang defensif bahwa aturan tidak dibuat dengan motivasi mengekang pers sangat disayangkan, makin teringat pernyataan Prof Satjito Rahardjo guru besar FH Undip Semarang bahwa Undang-undang adalah cacat sejak dilahirkan , membenarkan RUU ITE sudah membawa kontroversial, walau muatannya sangat diperlukan dan mengatur semua keperluan informasi teknologi dan transaksi elektronik , menjadi cacat dengan adanya kandungan pasal penyebar kebencian, walau secara sadar dan tak sadar jika tidak segera disikapi maka akan membawa korban setelah diundangakan oleh pemerintah menjadi Undang-undang (tempo 9 April 2008).
Kebebasan berekspresi melalui media masa yang diraih para pejuang reformasi dengan dicabutnya pasal menebar kebencian oleh MK tentunya jangan di sia-siakan , dengan membuat aturan lain walau hakikatnya sama , kebebasan yang diberikan kepada akan percuma jika membiarkan pasal 27 ayat3 dan pasal 28 ayat 2 RUU ITE , kiranya belum terlambat jika segera dilakukan penyempurnaan atau menunggu setelah menjadi Undang-undang diajukan uji materi di MK.
*Peneliti pada LPSH-HILC dan Dekan FH Usahid Jakarta
Oleh Oleh Stefanus Laksanto Utomo*
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008