Investor itu tidak punya loyalitas, mereka bisa memilih akan berinvestasi di mana mereka suka. Kalau ada yang memberatkan, mereka akan pindah karena investasi migas membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Jakarta (ANTARA) - Ketahanan energi nasional dinilai belum sesuai dengan harapan seiring dengan kebutuhan minyak dalam negeri yang masih mengandalkan impor sehingga berimbas pada defisit neraca minyak dan gas bumi (migas) Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan pada Januari-Juni 2019, perdagangan gas surplus 3,30 miliar dolar AS, sedangkan minyak mentah dan hasil olahan minyak defisit 8,08 miliar dolar AS. Kombinasi itu mencatatkan defisit neraca migas sebesar 4,78 miliar dolar AS.
Gas masih mencatatkan surplus. Namun, apabila ke depan tidak ada eksplorasi baru, bisa jadi Indonesia menjadi negara net importir gas, mengikuti minyak.
Secara alami cadangan migas pada masing-masing blok yang ada di Indonesia akan terus berkurang. Bila jumlahnya tidak ditambah, target energi primer 2025 agaknya seperti mimpi belaka.
Karena itu, percepatan produksi dari sumur-sumur yang sudah ada harus terus digenjot mengingat hingga saat ini relatif belum ditemukan lagi "giant discovery" untuk minyak bumi.
Untuk mempercepat produksi diperlukan kecepatan pengambilan keputusan dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) karena lebih dari 20 wilayah kerja (WK) migas akan dikelola oleh KKKS baru dengan komposisi 60 persen merupakan "mature asset".
Kecepatan keputusan diharapkan dapat mendukung target SKK Migas untuk mencapai produksi nasional sebesar satu juta barrel oil per day (BOPD), yang merupakan tantangan tersendiri juga bagi kontraktor migas untuk agresif mencari wilayah eksplorasi.
"Sekarang yang bisa kami lakukan adalah mempercepat 'onstream production'. Kedua, dari sisi produksi dapat mengandalkan Enhanced Oil Recovery (EOR) dan 'work over'. Kalau kami tidak melakukan apa-apa nanti tidak bisa dapat apa-apa," tegas Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Fatar Yani Abdurrahman.
Di sisi lain, upaya menambah jumlah eksplorasi migas juga harus tetap terus dilakukan, meski hasil yang didapatkan membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Baca juga: IPA: Pemerintah harus terus eksplorasi migas atasi persoalan defisit
Eksplorasi, merupakan kegiatan mencari sumber cadangan migas, akan menimbulkan multiplier effect di antara lain berupa FDI (foreign direct investment), penemuan cadangan baru, yang akhirnya diharapkan dapat mengurangi impor migas.
Fatar mengklaim ada kenaikan temuan gas, salah satunya terdapat di Masela. Begitu juga proyek laut dalam (IDD) yang juga menjadi salah satu potensi besar, rencananya sudah berproduksi pada 2025.
"Hingga 2027 setidaknya ada 42 proyek hulu migas yang akan menambah produksi sebesar 1,1 juta barrel oil equivalent per day (BOEPD). Proyek-proyek tersebut akan mendatangkan investasi senilai 43,3 miliar dolar AS," jelas Fatar.
Dari sisi konsumsi, SKK Migas merekomendasikan ada upaya konversi dari gas menjadi listrik, sehingga temuan-temuan cadangan gas dapat dimanfaatkan secara optimal untuk keperluan domestik sekaligus untuk mengurangi impor minyak.
Baca juga: IPA: Baru 16 cekungan dimanfaatkan
Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditetapkan Pemerintah pada 2017, kontribusi minyak dan gas bumi untuk energi primer pada 2025 masih relatif tinggi. Saat ini, bauran energi primer dari fossil sebesar 47 persen migas, yaitu terdiri dari 25 persen untuk minyak dan 22 persen gas bumi.
Dalam konteks optimasi produksi minyak bumi, terdapat hal yang mengejutkan karena perkiraan produksi minyak bumi berdasarkan RUEN berbeda cukup signifikan dengan realisasi terkini.
Berdasarkan RUEN, produksi minyak bumi pada 2019 diperkirakan berada di bawah 600.000 BOPD. Sementara data SKK Migas menunjukkan produksi minyak saat ini masih berada pada angka 759.000 BOPD per Juni 2019.
Tantangan
Direktur Indonesia Petroleum Association (IPA), Nanang Abdul Manaf mengatakan tantangan untuk memenuhi kebutuhan energi primer yang ada harus dipandang dengan optimis.
Menurut dia, tidak ada kata lain untuk meningkatkan produksi selain melakukan eksplorasi dan penggunaan teknologi EOR.
"Migas sudah ada di lapangan tersebut sehingga harus dipikirkan bagaimana meningkatkan recovery factor. Kondisi primary sebesar 25-35 persen, berarti masih sisa sekitar 70-75 persen yang harus diangkat. Nah, untuk mengangkatnya diperlukan teknologi," ujarnya.
Dari 60 basin atau cekungan yang ada di Indonesia, menurut dia, baru sekitar 16 cekungan yang dimanfaatkan.
Baca juga: SKK Migas terus berupaya kembangkan eksplorasi guna tambah produksi
Untuk memaksimalkan cekungan itu, investor migas sangat berharap penyelenggaraan perizinan untuk investasi di Indonesia dibuat lebih sederhana dan berada di bawah satu payung kelembagaan sehingga terjadi kolaborasi antar instansi yang terkait dan proses perizinan dapat berjalan lebih cepat.
"Saat ini masih ditemukan kebijakan yang tumpang tindih antara instansi yang satu dengan yang lainnya, termasuk antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah," kata Nanang.
Dengan kondisi tersebut, lanjut dia, fokus investor mencari migas pun terganggu karena ada beban pengurusan perizinan yang bertambah. Maka dari itu, kemudahan perizinan investasi harus dapat bersaing dengan negara tetangga.
Pemerintah seyogyanya memahami bahwa investor memiliki pilihan untuk menaruh investasinya di mana saja, apakah di Indonesia atau negara lainnya.
"Investor itu tidak punya loyalitas, mereka bisa memilih akan berinvestasi di mana mereka suka. Kalau ada yang memberatkan, mereka akan pindah karena investasi migas membutuhkan dana yang tidak sedikit," ucapnya.
Menurut Nanang, Indonesia sedang berkompetisi dengan negara tetangga untuk menarik sejumlah investor global.
"Negara-negara lain juga menginginkan investasi dari investor global. Sebagai investor, kita ingin berhadapan dengan aturan yang simpel, dan satu payung (lembaga) saja," katanya.
Maka itu, Nanang mengatakan, pemerintah perlu meningkatkan iklim investasi yang baik sehingga dapat mengundang investor migas global masuk dengan tetap menghormati kesucian kontrak (contract sanctity) yang telah disepakati sebelumnya.
Sementara itu, praktisi migas nasional, Tumbur Parlindungan mengatakan bahwa hal utama yang dibutuhkan investor migas adalah "contract sanctity" yang disepakati sebelumnya.
"Contract sanctity, itu yang paling utama. Karena investasi migas bersifat puluhan tahun maka investor tidak bisa melakukan evaluasi kalau kontraknya dapat berubah-ubah setiap saat. Itu menjadi catatan teratas permasalahan," tegasnya.
Baca juga: Guru Besar UI: Bukan cadangan migas yang habis melainkan ide
Dalam sepuluh tahun terakhir, berdasarkan data Laporan Kinerja Ditjen Migas 2018, puncak investasi hulu migas terjadi di 2013 dan 2014 yang mencapai 20,384 miliar dolar AS dan 20,380 miliar dolar AS. Sementara tahun lalu, investasi hulu migas tercatat merosot jauh menjadi 11,995 miliar dolar AS.
Pengamat migas dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto menambahkan, faktor internal dan eksternal punya peranan masing-masing untuk mendorong ataupun menghambat datangnya arus modal masuk ke Tanah Air.
Dari eksternal, dinamika harga minyak dunia cukup mempengaruhi investor migas global untuk selektif memilih proyek migas di berbagai negara berdasarkan tingkat keekonomian proyek yang ada.
Sementara dari sisi internal, kata kunci yang perlu menjadi perhatian untuk menghadirkan investasi hulu migas adalah kualitas regulasi berdaya saing global.
Mungkin Indonesia telah banyak melakukan deregulasi, tapi mungkin juga belum kompetitif.
Sedianya itu masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia untuk menghadirkan regulasi yang menarik bagi investor dalam melakukan eksplorasi, fleksibilitas regulasi harus lebih ditingkatkan karena dampak eksplorasi yang paling konkret adalah ketahanan energi itu sendiri.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019