New York (ANTARA News) - Dalam dua pekan terakhir ini Indonesia gencar berkampanye agar Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang saat ini beranggotakan 192 negara, segera menggelar pertemuan tingkat presiden/kepala negara untuk membahas krisis pangan dan energi yang tengah melanda dunia.
Surat resmi tertanggal 25 Maret 2008 dilayangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada dua di antara sekian banyak pemain kunci yang diharapkan dapat membantu menyelamatkan kondisi kemanusiaan dunia: Sekretaris Jenderal PBB dan Presiden Bank Dunia.
Melalui kurir khusus -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati--surat Yudhoyono disampaikan kepada Sekjen PBB Ban Ki-moon di Markas Besar PBB, New York, serta Presiden Bank Dunia Robert Zoellick di Washington D.C. pada pertengahan April lalu.
Dalam suratnya, Presiden Yudhoyono menyatakan keprihatinannya yang mendalam terhadap makin parahnya kondisi ketersediaan pangan dan energi di berbagai belahan dunia.
Hal penting yang digarisbawahi dari surat Yudhoyono itu adalah perlunya PBB dan lembaga-lembaga internasional berpengaruh lainnya menggalang pemahaman dan kesepakatan dunia dunia dalam mencari jalan keluar bagi masalah darurat yang menyangkut perut dan kelangsungan hidup manusia itu.
Tindak lanjut terhadap surat yang telah dilayangkan, dilakukan kemudian oleh tak kurang dari Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda maupun Wakil Tetap RI untuk PBB di York, Marty Natalegawa.
Beberapa hari setelah Sri Mulyani menyerahkan surat, Menlu bertandang ke kantor Sekjen PBB itu di Markas Besar PBB New York untuk membahas kemungkinan terciptanya konferensi tingkat tinggi soal pangan dan energi.
Datang dengan berbagai alternatif pelaksanaan, Menlu bahkan menyatakan Indonesia siap untuk menjadi tuan rumah pelaksanaan KTT jika PBB tidak dapat melakukannya.
Sebetulnya Indonesia, seperti yang diungkapkan Menlu, berharap agar pertemuan tingkat tinggi bisa dilakukan dalam kesempatan berlangsungnya Sidang Majelis Umum PBB di New York pada September 2008.
Seperti yang terjadi setiap tahun, sidang Majelis Umum pada bulan September banyak dihadiri oleh para pejabat negara setingkat presiden atau perdana menteri.
"Karena betapa daruratnya masalah ini, banyak juga yang mengatakan agar pertemuan tingkat tinggi ini tidak usah menunggu hingga September. Kalau bisa sebelum September," kata Hassan.
Ia mengacu kepada pembicaraannya dengan mitra-mitra asing yang ditemuinya, termasuk ketika menghadiri sebuah acara makan siang dengan para duta besar negara-negara anggota PBB di New York baru-baru ini.
Sementara itu, Dubes Marty Natalegawa, selain berbicara kepada teman-temannya sesama duta besar di PBB, juga bergerilya di kalangan wartawan internasional.
Untuk menyampaikan ide Indonesia soal perlunya penyelenggarakaan KTT yang membahas krisis pangan dan energi dunia, Marty berbicara kepada para anggota UNCA, yaitu asosiasi para wartawan yang bertugas di PBB.
"Memang masalah pangan dan energi ini dibahas oleh berbagai pihak termasuk oleh Ecosoc, WFP. Tapi kami lihat perlu ada pertemuan yang lebih menyatukan semua pihak dan menghasilkan komitmen politik dari para pemimpin dunia, menyusun peta jalan bagi penanganan krisis ini baik jangka pendek maupun panjang," kata Marty kepada para wartawan di Markas Besar PBB.
"Silent Tsunami"
"Kengototan" Indonesia soal pentingnya pertemuan tingkat pemimpin dunia itu sangat beralasan jika melihat situasi dunia saat ini.
Tak lama setelah Presiden Yudhoyono pada Maret lalu memutuskan untuk mengirim surat kepada Ban dan Zoellick, WFP (World Food Program), yaitu badan PBB yang mengurusi pangan dunia, muncul dengan peringatan keras kepada dunia tentang parahnya kondisi pangan di berbagai belahan bumi.
WFP pada 22 April lalu menyebut kondisi saat ini sebagai "silent tsunami" alias tsunami yang tidak tampak dengan jelas, di mana banyak orang di dunia akan mengalami kelaparan.
Seperti yang dicetuskan Josette Sheeran --Direktur Eksekutif WFP-- di London dalam pertemuan soal krisis pangan, "silent tsunami" saat ini tengah menggulung banyak negara di dunia.
WFP mengatakan, meroketnya harga pangan di berbagai belahan dunia menjadi tantangan tersendiri bagi WFP dalam 45 tahun terakhir.
Karena "silent tsunami", lebih dari 100 juta orang di setiap kontinen terancam kelaparan.
"Ini bentuk baru kelaparan --jutaan orang enam bulan lalu tidak masuk dalam kategori darurat dalam hal kelaparan, sekarang masuk dalam kategori itu," kata Sheeran.
Analisis yang dilakukan WFP pun ternyata sejalan dengan perkiraan yang pernah dilakukan oleh Bank Dunia, bahwa sekitar 100 juta orang di dunia telah bertambah miskin akibat meningkatnya harga kebutuhan akan pangan.
Josette Sheeran mengatakan bahwa seperti terjadinya tsunami pada tahun 2004 di negara-negara sekitar Samudera Hindia --termasuk Indonesia-- yang menewaskan hingga sekitar 250 juta orang, meroketnya harga pangan saat ini menuntut adanya respons secara global.
Sheeran mencatat bahwa saat tsunami terjadi tahun 2004, komunitas internasional termasuk pemerintah berbagai negara, sektor swasta maupun masyarakat secara perorangan memberikan sumbangan mereka hingga mencapai 12 juta dolar AS bagi upaya pemulihan pasca bencana.
Badan PBB itu berharap, kemurahan hati yang sama juga akan ditunjukkan masyarakat dunia dalam hal sumbangan secara finansial maupun upaya-upayamenangani bahaya kelaparan dunia dalam konteks darurat maupun solusi jangka menengah dan panjang.
Harapan yang serupa dimiliki Indonesia itu, saat ini tinggal menunggu tanggapan Sekjen PBB Ban Ki-moon, apakah PBB bersedia merealisasikan penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi untuk secara terpadu membahas krisis pangan dan energi dunia.
Baik menurut Sri Mulyani, Hassan Wirajuda maupun Marty Natalegawa, Sekjen PBB akan memberikan tanggapan tentang ide tersebut sesegara mungkin. (*)
Pewarta: Oleh Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2008