Medan (ANTARA News) - Pembentukan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah dengan merekrut hakim ad hock belum tentu efektif dan hanya akan "menghamburkan" uang negara.
Pemerintah harus berhati-hati dalam hal itu dan lebih baik mengoptimalkan hakim karir yang ada di pengadilan umum, kata Ketua Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Cabang Simalungun, Sumut, Binsar Gultom, SH, MH, di Medan, Minggu.
Hakim karir yang ada di peradilan umum sudah berpengalaman di bidang profesinya sehingga sangat menguasai hukum acara, formal dan material serta tidak sedikit yang telah berpendidikan Strata-2 (Magister Hukum) dan Starata-3 (Doktor), katanya.
Bebasnya seorang terdakwa di Peradilan Umum diharapkan tidak dijadikan "kambing hitam" sehingga dijadikan alasan harus membentuk Pengadilan khusus Tipikor tersebut.
Gultom menganggap kenyataan itu harus dijadikan pelajaran bagi pihak kepolisian, kejaksaan mau pun KPK selaku penyidik agar lebih profesional dan teliti dalam menyelidiki, menyidik dan menuntut seorang tersangka korupsi.
"Jangan sampai ada celah dalam dakwaan dan tuntutan dalam berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan sehingga menjadi alasan bagi seorang terdakwa dan kuasa hukumnya untuk mendapatkan putusan bebas," kata kandidat doktor ilmu hukum dari USU itu.
Selain itu, kata Gultom, tidak ada jaminan kualitas moral hakim non karir (ad hock) lebih baik dari pada hakim karir karena semuanya tetap terpulang kepada integritas moral pribadi.
"Buktinya, cukup banyak pakar dan ahli hukum yang tersangkut kasus hukum dan `terguling` dari jabatannya setelah menduduki jabatan tertentu," kata Gultom.
"Kuncinya, jika para hakim itu terbukti melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses hukum maka berikan hukuman yang lebih berat kepada mereka dibandingkan terdakwa biasa," tambahnya menegaskan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pembentukan Pengadilan khusus Tipikor di daerah juga dinilai "mubazir" karena prosesnya juga akan dilanjutkan ke peradilan umum.
Bagi terdakwa yang tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama tentu saja akan mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung (MA).(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008