Padang (ANTARA News) - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumbar, Saldi Isra, menilai, kalau pimpinan DPR melarang petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah tujuh ruangan anggotanya di gedung parlemen (DPR), itu merupakan pelanggaran terhadap kode etik Dewan sendiri. "Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, menyatakan dalam pasal 12, bahwa anggota dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi proses peradilan, untuk kepentingan diri pribadi dan/atau pihak lain," tegas Saldi Isra, saat dihubungi di Padang, Sabtu. Menurut dia, upaya penyidikan yang dilakukan KPK tidak ada yang dapat melarangnya, karena sudah diatur dalam Undang-undang. Jika ada pihak yang melarang atau berupaya menghalang-halangi proses penyidikan yang dilakukan KPK, itu sudah merupakan tindak pidana. Justru itu, lanjut dia, KPK punya kewenangan untuk melakukan penggeledahan terhadap tujuh ruangan di Gedung DPR, terkait kasus tertangkapnya Al Amin Nasution, anggota Komisi IV DPR dalam dugaan suap alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang itu, dalam penegakan hukum tidak ada upaya negosiasi atau berdialog terlebih dahulu. Jika berlaku sistem dialog dan negosiasi, kapan hukum bisa ditegakkan secara benar dan adil, sesusai dengan ketentuan Undang-undang. Saldi menilai lagi, tindakan tidak memberi izin terhadap petugas KPK merupakan sikap resistensi yang muncul terhadap penegakan hukum pemberantasan korupsi dari sebagian wakil rakyat itu. Sikap kekhawatiran sebagian wakil rakyat itu, jelas tidak bisa diterima," katanya, seraya menambahkan, kita tak menyangkal masih ada sebagian anggota DPR yang konsisten dengan pernyataannya sendiri dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi. Seperti diberitakan sebelumnya, Tim KPK menangkap Al Amin Nasution di Ritz Carlton Hotel, Jakarta pada Rabu (9/4) dini hari. "Barang bukti kami temukan di lapangan terhadap yang bersangkutan berjumlah hampir Rp4 juta saat penangkapan dan kurang lebih Rp67 juta di kendaraan Amin," kata Ketua KPK Antasari Azhar. Belakangan diketahui, KPK juga menemukan uang senilai 33 ribu dolar Singapura saat penangkapan. Bersama Amin juga ditangkap Sekretaris Daerah kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Azirwan. KPK menduga pemberian uang itu terkait dengan upaya alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008