Butuh strategi yang tepat untuk menjawab persoalan kinerja perdagangan Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Indonesia for Global Justice (IGJ) menyoroti Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA CEPA) yang dicemaskan ke depannya akan semakin memperbesar potensi jumlah impor dari negara Kanguru tersebut.
"IA CEPA dipastikan akan memperdalam defisit perdagangan antara Indonesia dan Australia yang dari 2014 ke 2018 trennya meningkat 50,05 persen atau defisit hingga 3 miliar dolar AS pada 2018," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti di Jakarta, Sabtu.
Menurut kajian yang disusun IGJ, sebenarnya dari perjanjian kerja sama ASEAN dengan Australia-Selandia Baru sebelumnya yang telah diratifikasi pada tahun 2011, hampir 90 persen produk diperkirakan telah dihapuskan tarifnya hingga 0 persen.
Selain itu, IGJ juga mengingatkan bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan Australia sejak 2012 terus menunjukan angka defisit, khususnya di sektor nonmigas.
"Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel tarif tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia ke Australia. Selama ini, hambatan perdagangan Indonesia ke Australia dipengaruhi oleh faktor tindakan nontarif," paparnya.
Ia mencontohkan, selama ini, sejumlah kebijakan seperti standar karantina produk yang diterapkan Australia tidak dapat dengan mudah ditembus eksportir Indonesia sehingga melahirkan biaya tambahan bagi produk ekspor di pasar Australia.
Selain itu, IGJ juga menemukan bahwa potensi ekspor yang belum termanfaatkan oleh Indonesia di pasar Australia hanya senilai 201 juta dolar AS, sebaliknya potensi ekspor Australia ke Indonesia yang belum termanfaatkan sebesar 1 miliar dolar AS atau hampir 5 kali lipat dari tambahan potensi ekspor Indonesia.
Contoh peluang perdagangan dari Australia ke Indonesia yang belum termanfaatkan antara lain bijih gandum senilai 1 miliar dolar AS di mana pemanfaatannya baru 51 persen, sapi hidup senilai 236 juta dolar AS atau baru termanfaatkan 68 persen saja, serta daging sapi senilai 327 juta dolar AS di mana pemanfaatannya baru 35 persen.
Dengan melihat fakta ini, pemerintah Indonesia diharapkan mesti lebih selektif dalam mengelola potensi ekspor pasca IA-CEPA, di mana impor daging sapi dan sapi hidup perlu diantisipasi sedemikian rupa agar tidak mematikan potensi sapi lokal sebaliknya ekspor sedianya digunakan untuk melakukan perbaikan kualitas bibit sapi yang dalam jangka panjang mampu mendorong swasembada daging sapi secara nasional.
Di sisi lain, ekspor gandum, tembaga, kapas dan produk-produk bahan baku untuk industri olahan perlu dikelola sedemikian rupa agar mampu memperbaiki daya saing industri pengolahan nasional baik untuk kepentingan substitusi impor maupun industri bertujuan re-ekspor.
"Butuh strategi yang tepat untuk menjawab persoalan kinerja perdagangan Indonesia. Memperbanyak penandatanganan FTA (perjanjian perdagangan bebas) bukanlah solusinya. Justru, dengan FTA tekanan perdagangan terhadap pembukaan pasar impor ke Indonesia semakin tinggi," ucapnya.
IGJ merekomendaskan agar Pemerintah Indonesia menyusun peta kebijakan pengelolaan impor, salah satunya adalah dengan menyusun strategi Non-Tarif Measures (NTMs) yang efektif, khususnya untuk sektor pertanian nasional.
Baca juga: Pemerintah diminta moratorium ratifikasi perdagangan bebas
Baca juga: IGJ: Pemindahan ibu kota belum tentu atasi ketimpangan
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019