jika sudah dapat melewati batu tersebut maka pemuda itu layak mengikuti perangJakarta (ANTARA) - Fahombo atau yang lebih dikenal sebagai loncat batu di Kepulauan Nias merupakan salah satu hal yang lahir dari tradisi perang.
Tokoh pemuda adat Desa Bawömataluo, Nias, Tuha Föna Sohahau Duman Wau saat ditemui di Jakarta, Jumat mengatakan lompat batu menjadi ujian bagi para pemuda apakah mereka sudah layak ikut perang atau belum.
"Kemampuan meloncat tersebut diperlukan karena secara topografi Nias itu berbukit-bukit. Jadi perlu kegesitan untuk melompati bebatuan, pagar atau bukit," kata Duman.
Menurut Duman sejak kecil, anak laki-laki di Nias Selatan sudah terbiasa untuk melompat. Mereka melompati apa saja rintangan yang ada di depan mereka.
Saat mereka dewasa, batu yang akan mereka lompati setidaknya setinggi dua meter. Jika mereka dapat melewatinya maka pemuda tersebut layak untuk ikut ke medan perang.
Namun dia menyayangkan ada masyarakat luar Nias yang salah mengartikan maksud dari kedewasaan setelah melompati batu.
"Ada yang berpikir bahwa kedewasaan setelah mampu melewati batu adalah satu syarat kalau mereka sudah boleh menikah. Padahal bukan itu, sebenarnya jika sudah dapat melewati batu tersebut maka pemuda itu layak mengikuti perang," kata Duman.
Baca juga: Kisah dibalik atraksi "uang seribu"
Baca juga: Toyota Yaris Heykers terinspirasi tradisi Lompat Batu Nias
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019