Surabaya (ANTARA News) - Pakar sejarah dari UGM, Prof Dr Djoko Suryo mengemukakan bahwa berdasarkan sumber, sebetulnya wali penyebar agama Islam di tanah Jawa bukan hanya sembilan orang yang kemudian populer dengan sebutan Wali Songo atau wali sembilan. "Mengapa kemudian lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo, tidak terdapat penjelasan yang pasti dalam literatur Jawa," katanya dalam seminar internasional membahas Cheng Hoo dan Wali Songo yang diselenggarakan PITI dan Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo di Surabaya, Sabtu. Namun demikian, katanya, angka sembilan itu diduga dipilih atas anggapan bahwa angka tersebut memiliki nilai keramat menurut pandangan kebudayaan Jawa tradisional. Dapat disimpulkan juga bahwa pada masa itu, terdapat dua kelompok wali di Jawa. "Pertama, wali tingkat atas, yaitu mereka yang tergabung dalam Wali Songo dan wali tingkat lokal atau daerah. Golongan pertama merupakan kelompok wali yang memiliki peran dan fungsi yang lekat dengan pusat pemerintahan kerajaan Islam, seperti Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten," katanya. Wali sembilan itu, katanya, secara fungsional menjadi penasehat sultan atau raja, bahkan kadang-kadang ikut terlibat dalam dinamika politik kerjaan. Hubungan mereka dengan raja dan pusat politik sangat dekat. Karenanya tidak heran apabila Wali Songo menjadi lebih populer di seluruh wilayah Jawa. "Sementara tokoh wali lokal dengan terbatasnya jangkauan fungsi dan perannya, lebih dikenal di daerahnya saja," kata lulusan Universitas Monash, Australia yang juga Direktur Pusat Studi Korea, Universitas Gadjah Mada itu. Ia menjelaskan bahwa kedudukan sembilan wali sangat tinggi, kuat dan istimewa. Selain sama-sama wali, mereka juga terikat hubungan vertikal dengan penguasa kerajaan tempat mereka berperan sebagai penasehat pemerintahan dan secara horisontal terjalin hubungan keluarga dan kekerabatan melalui perkawinan. Bahkan, katanya, peran Wali Songo sebagai penasehat kerajaan Islam pada waktu itu sedemikian besarnya hingga lebih tinggi dari Sultan, seperti yang ditunjukkan oleh Sunan Giri sehingga segala kebijakan dan keputusan penting kerajaan harus melalui mereka. "Oleh karena itu dapat dipahami apabila seorang penulis sejarah dari Barat menyebutkan bahwa Sunan Giri berkedudukan sebagai `Paus dari Jawa`. Ini menggambarkan bahwa kedudukan golongan penguasa agama pada waktu itu ada di atas kedudukan penguasa kerajaan, mirip yang pernah terjadi dalam sejarah Eropa pada abad tengah," katanya. Seminar yang digelar 26 hingga 27 April itu menghadirkan sejumlah pembicara yang merupakan pakar sejarah Cina, yakni dari Cina, Malaysia dan Indonesia sendiri. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008