Sleman (ANTARA) - Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) mengoptimalkan peran masyarakat dalam upaya antisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kawasan hutan lereng Gunung Merapi di perbatasan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogakarta dan Jawa Tengah, terutama pada musim kemarau.

"Selain patroli yang kami lakukan secara rutin di kawasan hutan Merapi, kami juga menggandeng masyarakat setempat dan berbagai komunitas dalam upaya pencegahan karhutla," kata Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah 1 Balai TNGM Wiryawan di Sleman, Jumat.

Menurut dia, pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk antisipasi karhutla, yakni dengan melakukan patroli di titik-titik yang sering terjadi karhutla.

"Ada 34 personel yang diterjunkan untuk patroli rutin yang meliputi daerah Jurangjero, Kabupaten Magelang dan Wilayah Kabupaten Sleman di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan," katanya.

Ia mengatakan, selain patroli pihaknya juga melibatkan personel kepolisian. Termasuk melibatkan masyarakat untuk menginformasikan kejadian dan juga membantu memadamkan api.

"Kami juga membentuk Masyarakat Mitra Polhut (MPP) yang merupakan kelompok masyarakat sadar wisata (Pokdarwis), baik itu di Sleman maupun Magelang. MPP ini di berberapa lokasi rawan sudah ada," katanya.

Wuryawan mengatakan, untuk kawasan rawan karhutla meliputi wilayah Jurangjero, Srumbung, Dukun yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, serta di Cangkringan, Pakem, Turi Kabupaten Sleman.

"Pada musim kemarau tahun ini tercatat satu kejadian karhutla. Di objek wisata Jurangjero, Srumbung, Magelang pada minggu ini," katanya.

Ia mengatakan, meskipun tidak terlalu luas, kasus kebakaran yang melanda sekitar 25 meter persegi petak hutan tersebut tetap dilakukan penyelidikan untuk mengetahui penyebab kebakaran.

"Penyelidikan juga untuk mengetahui ada tidaknya unsur kesengajaan. Kami belum bisa memastikan, tapi lahan yang terbakar di Jurangjero seluas 25 meter persegi dan langsung bisa dipadamkan," katanya.

Sedangkan untuk perlengkapan pemadaman kebakaran hutan, katanya, masih mengandalkan cara tradisional yakni dengan "gebyok" atau perlengkapan mirip sapu lidi yang dipukul-pukulkan ke titik api.

"Namun 'gebyok' ini hanya untuk kebakaran skala kecil. Namun, jika kebakaran itu berpotensi meluas, maka pemadaman tetap menggunakan perlengkapan modern yakni 'jet shooter' atau tanki semprot punggung dan mobil pemadam kebakaran," katanya.

Ia mengatakan, TNGM juga mengimbau kepada masyarakat, agar tidak sembarangan membuat api di kawasan hutan Merapi, karena percikan api kecil bisa memicu kebakaran.

"Masyarakat yang mencari rumput di kawasan TNGM kami imbau tidak merokok, kemudian masyarakat yang melakukan kegiatan kemah juga diusahakan tidak membuat api unggun," katanya.

Menurut dia, pihaknya juga telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, serta membuat papan larangan untuk membuat api di hutan Merapi.

Kepala Seksi Operasional dan Investigasi UPT Damkar Kabupaten Sleman Suwandi mengatakan hingga 30 Juli 2019 sudah ada 66 kali kejadian kebakaran di wilayah setempat.

Jumlah tersebut mengalami penurunan dibanding jumlah kejadian per 30 Juli 2018 sebanyak 71 kali kejadian kebakaran.

"Selama ini kasus kebakaran di Sleman didominasi oleh kebakaran lahan pekarangan. Penyebabnya masih banyak masyarakat membakar sampah sembarangan," katanya.

Selain itu ada juga kebakaran rumah. Penyebabnya biasanya karena korsleting atau hubungan arus pendek listrik.

"Masyarakat kami imbau kalau meninggalkan rumah untuk dicek kembali, cabut colokan listrik, kalau bakar sampah jangan ditinggal agar api tidak merembat," katanya.

Baca juga: Taman Nasional Merapi hijaukan lahan bekas kebakaran
Baca juga: TNGM lakukan penghijauan lahan bekas kebakaran
Baca juga: Hutan Lereng Merapi di Boyolali Terbakar

Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019