Jakarta (ANTARA News) - Krisis ekonomi dunia akibat lonjakan harga minyak bumi dan bahan pangan seharusnya menguntungkan, bukan malah membuat perekonomian Indonesia ikut terpuruk. "Indonesia mengalami paradoks," kata Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Ginandjar Kartasasmita pada seminar "Investasi di Indonesia Pasca-Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan" di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis. Ginanjar menyatakan, pada saat harga minyak bumi dan bahan pangan mengalami kejatuhan, Indonesia serta-merta menderita, sebaliknya, pada saat harga mengalami kenaikan, Indonesia juga turut menderita. Menurut dia, seharusnya Indonesia tidak mengalami keterpurukan akibat kenaikan harga minyak bumi dunia yang sudah jauh melampaui 100 dolar per barel saat ini (mendekati 120 dolar-red) jika Indonesia mampu memacu produksi minyaknya. Kenaikan harga minyak bumi dunia, menurut Ginanjar, hanya dianggap sebagai gejolak ekonomi biasa oleh negara-negara penghasil minyak bumi lainnya. "Mereka tidak terpuruk seperti Indonesia, karena jauh-jauh hari telah melakukan kebijakan diversifikasi energi," katanya. Jika negara lain dapat mengatasi dampaknya melalui pengembangan energi alternatif, Indonesia justru terbelenggu kenaikan harga minyak bumi yang terus membubung dan jumlah potensinya yang semakin lama semakin berkurang. "Padahal, banyak sumberdaya energi alternatif yang tidak kita manfaatkan," kata Ginandjar. Demikian pula, Ginanjar berpendapat, kenaikan harga bahan pangan dunia seharusnya juga tidak membuat Indonesia ikut terpuruk, mengingat krisis bahan pangan biasanya melanda negara-negara yang tidak memiliki sumberdaya pertanian. "Indonesia adalah negara yang memiliki sumberdaya pertanian. Seharusnya, krisis pangan dunia kita sambut dengan kebahagiaan," katanya. Banyak negara yang memiliki sumberdaya pertanian yang bergembira karena permintaan bahan pangan dari negara-negara yang mengalami krisis pangan semakin bertambah dan melonjak. Contohnya, Brasil dan Thailand menikmati krisis pangan yang semakin langka dan mahal. "Petani-petani mereka mendadak kaya," tutur Ginanjar.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008