Mewajibkan cerobong industri besar dan berpotensi tinggi mencemari udara agar dilengkapi Continuous Emission Monitoring System (CEMS)

Jakarta (ANTARA) - Kamis pagi, matahari baru saja beranjak, namun kesibukan sudah melanda beberapa pekerja pabrik kimia di PT Mahkota Indonesia yang berlokasi di Jalan Raya Bekasi, Cakung, Jakarta Timur.

Mereka "sibuk" bukan bersiap untuk memproduksi bahan kimia dasar, namun sibuk menghadapi tamu tak diundang.

Ada yang ikut mendampingi para tamu, ada pula karyawan yang wira-wiri membagikan masker.

Masker memang sangat diperlukan saat memasuki pabrik tersebut karena bau kimia yang cukup menyengat.

Tamu tak diundang itu adalah para pejabat dan pengawas dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta yang turut mengajak awak media dalam inspeksi mendadak.

Saat itu, tidak banyak aktivitas yang dilakukan para pekerja di pabrik yang sudah beroperasi sejak 50 tahun tersebut.

Beberapa pekerja lainnya hanya bisa mengamati para tamu yang datang secara tiba-tiba dalam jumlah banyak itu, dari kejauhan.

Meski belum ada aktivitas, namun di salah satu sudut pabrik tersebut, terlihat asap berwarna putih mengepul dari salah satu fasilitas cerobong yang tidak terlalu tinggi.

Ukurannya sekitar dua meter dari permukaan tanah.

Asap tersebut merupakan hasil produksi asam sulfat, bahan kimia yang diproses di unit II pabrik tersebut.

Tanpa menunggu lama, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta kemudian membacakan putusan sanksi kepada perusahaan tersebut.

Putusan yang dibacakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Dinas Lingkungan Hidup DKI Suko Rahardjo itu menjatuhkan sanksi administratif level kedua berupa paksaan pemerintah.

Artinya, pelaku usaha itu harus segera memperbaiki pengelolaan emisi cerobong asap yang terbukti menyumbang polusi udara.

Hasil uji laboratorium pada cerobong asam sulfat unit dua di pabrik itu melebihi baku mutu untuk parameter sulfur dioksida.

Dinas Lingkungan Hidup DKI mendesak agar pengelola pabrik segera memperbaiki pengelolaan emisi sumber tidak bergerak dari kegiatan produksi paling lama 45 hari kalender.

Perusahaan itu juga diminta untuk melaporkan hasil perbaikan kepada Dinas Lingkungan Hidup DKI dan Suku Dinas Lingkungan Hidup Kota Administrasi Jakarta Timur.

Apabila dalam waktu yang sudah ditentukan tidak melaksanakan sanksi tersebut, maka pelaku usaha di pabrik itu akan diberikan sanksi hukum lebih berat.

Sementara itu, Kepala Pabrik PT Mahkota Indonesia Stephen Rudyato nampak tenang meski terlihat gusar di raut wajahnya.

Entah sudah bisa menebak bakal dijatuhi sanksi atau tidak, Stephen sepertinya pasrah.

Ia berjanji akan memperbaiki pengelolaan emisi cerobong asap di pabrik tersebut dalam waktu 45 hari.

Meski begitu, ia mengaku pabrik tersebut baru pertama kali mendapatkan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah.

"Ini baru pertama kali. Nanti akan kami coba perbaiki, kami tiap tahun selalu diuji (emisi), " katanya.

Sanksi berjenjang

Tidak begitu jauh dari PT Mahkoda Indonesia, Dinas Lingkungan Hidup DKI kemudian mendatangi pabrik pelebur baja, PT Hong Xin Steel.

Saat digerebeg, tidak ada aktivitas di pabrik tersebut.

Cerobong yang menjulang tinggi juga tidak mengepulkan asapnya.

Beberapa pekerja, juga terlihat berkumpul di beberapa titik sama halnya dengan kendaraan besar seperti truk yang hanya parkir.

Sebagian pekerja lainnya, lalu lalang membawa kawat besi yang sudah diproduksi.

Pemandangan kontras di pabrik itu adalah dua pohon kering yang hanya tinggal rantingnya saja, sedangkan daun-daunnya berguguran.

Pohon tersebut persis berada di bawah cerobong asap milik pabrik besi itu.

Dinas Lingkungan Hidup DKI menyambangi di pabrik tersebut bukan yang pertama kalinya, karena saat ini, pabrik peleburan besi itu sedang menjalani sanksi paksaan pemerintah yakni segera memperbaiki pengelolaan gas buang.

Sebelumnya, pabrik itu pernah dijatuhi sanksi administratif berupa paksaan pemerintah nomor 175 tahun 2016 oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, untuk memperbaiki tata kelola cerobong asap.

Kedatangan aparat pemerintah kali ini untuk memeriksa kadar emisi di cerobong asap dengan menggandeng laboratorium terakreditasi, sebagai tindak lanjut dari sanksi sebelumnya.

Jika terbukti tidak juga memenuhi sanksi sebelumnya, maka sanksi akan meningkat yaitu pembekuan izin lingkungan dan bahkan dapat sampai ke pencabutan izin.

Dinas Lingkungan Hidup DKI menerapkan sanksi terhadap industri yang melanggar, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 tahun 2013 tentang pedoman penerapan sanksi administratif di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sanksi berjenjang itu yakni mulai dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan atau izin perlindungan, dan pengelolaan lingkungan hidup.

Selain itu, jenjang berikutnya yakni pencabutan izin lingkungan dan atau izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sementara itu, Manajer pabrik Irwan berkelit bahwa pihaknya pernah mendapatkan sanksi.

Ia mengaku pemerintah hanya memberikan saran untuk memperbaiki kinerja produksi pabrik.

"Tidak ada apa-apa karena hari ini dia (Dinas Lingkungan Hidup) mendadak datang, hanya ambil (keperluan) laboratorium saja. Sanksi itu sih tidak ada, paling hanya saran-saran untuk perbaikan apa-apa begitu," katanya.

Selama tahun 2019, Andono Warih menyebutkan sudah ada 47 perusahaan dari 114 industri manufaktur yang memiliki cerobong asap beroperasi di ibu kota, dijatuhi sanksi administratif berjenjang.

Jumlah pemberian sanksi itu, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 18 pelaku usaha.

Meski demikian, dari seluruh sanksi yang dijatuhkan, Andono mengaku belum ada perusahaan yang kena sanksi pencabutan izin.

Hal itu disebabkan karena bertahap biasanya dari perusahaan itu begitu mendapatkan sanksi level pertama sudah melakukan perbaikan, imbuh Andono.

Adanya inspeksi kepada pabrik tersebut sesuai dengan Instruksi Gubernur Nomor 66 tahun 2019 tentang pengendalian kualitas udara yang dikeluarkan 1 Agustus 2019.

Salah satu fokus perhatian dalam instruksi Gubernur Anies Baswedan itu adalah pengendalian sumber penghasil polutan tidak bergerak khususnya pada cerobong industri aktif.

Anies memerintahkan Dinas Lingkungan Hidup DKI melakukan inspeksi setiap enam bulan sekali kepada industri.

Selain inspeksi, Gubernur DKI juga meminta cerobong pembangkit listrik untuk ditinjau kembali sesuai dengan Instruksi Gubernur nomor 66 tahun 2019.

Selain pada industri, kata Anies, pemprov meminta pada Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk melakukan peninjauan kembali pada cerobong-cerobong asap Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang ada di sekitar Jakarta.

Akan tetapi, saat ditanyakan mengenai ambang batas aman yang ditetapkan bagi emisi cerobong asap, Anies mengaku dirinya tidak mengetahui angkanya.

"Angkanya saya tidak punya. Karena itu, saya juga tidak mengatakan apa-apa, dalam artian melanggar atau tidak, tapi saya minta ditinjau kembali, untuk memastikan bahwa yang dikeluarkan tidak mengakibatkan polusi yang lebih tinggi baik di Jakarta ataupun di kawasan-kawasan yang lain," ucap Anies.

Perketat aturan

Dinas Lingkungan Hidup DKI mendata ada sekitar 1.150 cerobong gas buang industri di Jakarta.

Kegiatan industri tersebut umumnya memiliki cerobong lebih dari satu unit.

Sementara itu, dalam kegiatan pengawasan, komponen yang diawasi adalah pemenuhan ketentuan spesifikasi teknis cerobong dan baku mutu udara keluaran.

Selain itu, kewajiban melakukan pengukuran secara mandiri emisi setiap enam bulan oleh industri bekerja sama dengan laboratorium lingkungan hidup terakreditasi dan kewajiban melaporkannya kepada Dinas Lingkungan Hidup.

Ia mengungkapkan, pengawasan kepatuhan industri terhadap ketentuan lingkungan hidup secara rutin dilakukan petugas pengawas lingkungan hidup.

Masyarakat juga dapat membuat aduan atas dugaan pencemaran lingkungan oleh industri.

Pengawasan pemerintah tidak hanya terhadap kepatuhan pemenuhan baku mutu cerobong emisi gas buang, tetapi juga aspek persyaratan teknis lingkungan hidup lainnya.

Aspek itu seperti tersedianya instalasi pengolahan air limbah domestik, tata kelola limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) hingga kepatuhan melaporkan kegiatan pengendalian lingkungan.

Sementara itu, menindaklanjuti instruksi gubernur, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera membuat regulasi untuk memperketat persyaratan teknis terkait pengendalian pencemaran udara dari sumber tidak bergerak.

Pengetatatn itu di antaranya dengan mewajibkan cerobong industri besar dan berpotensi tinggi mencemari udara agar dilengkapi Continuous Emission Monitoring System (CEMS).

CEMS adalah sistem pemantauan lengkap yang dapat mengukur lima parameter kualitas udara berupa karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), dan oksigen (O2) dan partikulat secara terus-menerus.

Data tersebut, lanjut Andono, wajib diumumkan melalui panel digital di depan gerbang pabrik serta wajib dikoneksikan langsung ke Command Center Dinas Lingkungan Hidup.

Sehingga pengawasan pemerintah dapat lebih efektif dan masyarakat juga dapat memantaunya secara langsung.

Sedangkan untuk industri yang skalanya lebih kecil dan prosesnya tidak terus-menerus wajib melaporkan hasil pemantauan mandiri yang berkerja sama dengan laboratorium lingkungan hidup terakreditasi setiap bulan ke Dinas Lingkungan Hidup.

Data-data tersebut akan diverifikasi dan diumumkan kepada masyarakat melalui laman Jakarta Smart City.

Semua pihak tentunya mengharapkan udara Jakarta terbebas dari polusi, menghirup udara yang bersih dan sehat.

Kegiatan inspeksi diharapkan dilakukan intensif dan berkelanjutan, tidak hanya semata mengejar target atau dilakukan saat ibu kota menjadi sorotan karena kualitas udara beberapa bulan terakhir sempat buruk.

Masyarakat juga bisa berperan dengan ikut menjaga lingkungan dan memantau kondisi terkait pencemaran lingkungan termasuk polusi udara, agar bisa ditindaklanjuti.

Baca juga: IbuKota sebut Ingub tentang pengendalian pencemaran udara tanpa riset

Baca juga: Dinas LH DKI: 47 perusahaan dijatuhi sanksi pencemaran lingkungan

Baca juga: Dinas LH DKI jatuhkan sanksi kepada PT Mahkota Indonesia

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019