Pemerintah perlu memfokuskan tindakannya pada aspek pencegahan sebelum kebakaran hutan terjadi...

Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menginginkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan berbagai pemerintahan daerah dapat memantau lahan hutan secara daring dengan menggunakan sarana satelit dalam rangka mencegah kebakaran hutan dan lahan.

"Pemerintah perlu memfokuskan tindakannya pada aspek pencegahan sebelum kebakaran hutan terjadi. Fokus pada tindakan pencegahan akan membantu mengurangi munculnya titik-titik api dan mengidentifikasi potensi munculnya titik-titik api yang belum pernah ada sebelumnya," kata Peneliti CIPS Muhammad Diheim Biru di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, idealnya pemda yang memiliki konsesi lahan areal hutan, melengkapi aparat penegak hukum selain KLHK di daerahnya dengan alat pemantauan lahan hutan secara online melalui satelit seperti Global Forest Watch-Fires dan turunannya seperti Forest Watcher.

Pemerintah daerah, lanjutnya, juga idealnya melakukan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas petugas penegak hukum selain KLHK dalam menggunakan alat-alat tersebut sehingga pemantauan lebih intensif lagi.

Ia memaparkan, aplikasi Global Forest Watch memiliki resolusi tinggi dan memperbaharui perubahan dalam waktu yang cepat. Aplikasi ini juga dapat memfasilitasi pemantauan rantai pasokan dengan mendeteksi deforestasi terkait dengan produksi komoditas, sehingga mempromosikan pertanian komoditas yang lebih berkelanjutan.

"Meskipun mungkin sudah diimplementasikan dengan Karhutla Monitoring System, implementasi fungsi aplikasi ini perlu ditingkatkan lagi. Aparat selain Manggala Agni KLHK di daerah seperti Kapolda, BPBD, dan BNPB perlu dilengkapi dengan alat serupa agar dapat berkoordinasi lebih cepat dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya karhutla," ucapnya.

Selain itu, ujar dia, aparat di lapangan seperti Polhut, Polda, Babinsa dan Bhabinkamtibmas harus terus siaga untuk ground check apabila deteksi dini sudah keluar terhadap titik panas ataupun aktivitas yang mencurigakan.

Ia juga menekankan pentingnya modernisasi alat pertanian yang digunakan petani juga perlu dilakukan karena teknologi pembukaan lahan mereka ke depan juga harus segera digantikan di daerah rawan kebakaran dengan izin yang jelas dan aman seperti menggunakan excavator.

"Pemerintah juga perlu memperhatikan pemegang izin konsesi lahan sebelumnya. Tidak jarang, titik panas muncul di dalam izin konsesi lahan juga merupakan akibat dari tindakan yang dilakukan oleh pemegang izin konsesi tersebut. Kalau tidak ada penanganan spesifik atau laporan jelas mengenai bagaimana api terpicu di dalam lahan dari perusahaan, perusahaan atau usaha yang bersangkutan perlu digugat dengan keras dan apabila perlu izinnya dicabut," jelas Diheim.

Diheim menambahkan, pelaksanaan moratorium kawasan hutan alam dan gambut tidak ada gunanya apabila masih terdapat eksploitasi di sekitar izin-izin konsesi lahan yang sudah ada sebelumnya dan yang belum ada yang karena tidak terawasi.

Berdasarkan data SiPongi KMS KLHK, terjadi penurunan total luas kebakaran lahan dari tahun 2015 ke 2016 sebesar 2,1 juta ha. Jumlah ini kembali menurun pada 2017 sebesar 272,879.27 ha.

Pada 2018, jumlah ini kemudian meningkat kembali sebesar 345,080.92 ha. Apabila pada 2019 pencegahan tidak optimal, maka dapat meningkat lebih tinggi dibanding angka luas lahan yang terbakar di tahun sebelumnya.
​​​​​
Baca juga: KLHK ingatkan kembali arahan presiden terkait pencegahan Karhutla

Baca juga: Siaga puncak kemarau, upaya pencegahan karhutla diintensifkan

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019