Ambon (ANTARA) - Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) IAIN Negeri Ambon, Dr. Saidin Ernas menegaskan diperlukan sistem peringatan dini untuk menangkal faham radikalisme dan terorisme yang mulai merebak di kampus-kampus perguruan tinggi di Maluku.
"Di daerah lain mungkin hal ini sudah biasa tetapi khusus di Ambon dan Maluku perlu ada sistem peringatan dini untuk memastikan bahwa kampus perguruan tinggi tidak mudah terpapar paham radikalisme," katanya pada seminar sehari yang digelar Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) IAIN Ambon, Kamis.
Baca juga: Presiden: Terorisme dan radikalisme masih menjadi tantangan serius
Baca juga: Konten radikalisme terbanyak di Facebook dan Instagram
Baca juga: Menkopolhukam: generasi muda rentan terpapar paham radikalisme
Baca juga: DPR: Pancasila kikis gerakan radikalisme dan terorisme
Saidin yang menjadi salah satu pembicara dalam seminar bertema "Data dan Pendekatan dalam Penanganan dan Pencegahan Aksi Radikalisme dan Terorisme (Kekerasan Ekstrimisme) di Maluku, memaparkan berbagai data yang ada menunjukkan Maluku selama ini dianggap sebagai salah satu titik panas simpul kekerasan di Indonesia, karena berkaca dari sejarah konflik yang melanda provinsi tersebut tahun 1999.
Tetapi dalam konteks terorisme dan radikalisme sendiri itu merupakan masalah berbeda yang perlu dilihat secara cermat dan mendalam.
"Memang data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun oleh The Habibie Center misalnya tidak memperlihatkan perkembangan yang mengkhawatirkan. Tetapi hal ini perlu terus diwaspadai mengingat perkembangan paham radikalisme selalu tumbuh dari fenomena yang kecil berkembang menjadi luas," katanya.
Dia juga menyatakan banyak mendapat informasi dari beberapa dosen Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon tentang perubahan perilaku kalangan mahasiswa mereka, yang cenderung menunjukkan sikap-sikap lebih eksklusif dan radikal.
Bahkan belakangan mereka mengeksploitasi masalah lainnya hingga ke tingkat menganggap orang-orang lain sebagai kafir dan sebagainya.
"Ini sebetulnya sudah mengkhawatirkan meskipun dalam jumlah masih sangat kecil. Kita perlu mencari tahu siapa kelompoknya serta aktor yang memiliki jaringan ke kampus karena umumnya mereka mengembangkan jejaring keluar dan berhubungan dengan pihak yang disebut sebagai mentor," tandasnya.
Dia menegaskan para pemimpin perguruan tinggi di Maluku selama ini melakukan pendekatan sangat struktural dan tidak bisa melihat dinamika sosiologis kalangan mahasiswanya.
Karena itu, Saidin juga menandaskan, ke depan perlu dilakukan riset lebih intensif dan komprehensif, untuk membaca fenomena radikalisme yang mulai merebak di kalangan kampus di Maluku, dan kemudian ditentukan langkah-langkah penanganan yang perlu segera dilakukan kalangan perguruan tinggi.
Sedangkan dalam jangka pendek perlu ada sinergitas antara pimpinan perguruan tinggi dan kelompok kepentingan yang selama ini menangani program-program radikalisasi, guna memastikan jaringan yang terbangun serta indikasi perkembangannya di kalangan kampus di Maluku.
Langkah-langkah yang dilakukan bisa bersifat preventif dan jika sudah ada fakta yang membuktikannya maka perlu dilakukan langkah bersifat kuratif untuk membersihkannya.
"Pendekatan yang digunakan selama ini yakni menghindari persoalan dan tidak menyelesaikan masalah. Ini ibarat sakit demam tetapi tidak meminum antibiotik untuk menangkal bibit penyakitnya," katanya.
Jika akar masalah masuknya paham radikalisme di kalangan kampus, maka mahasiswa yang telah terpapar harus segera dirangkul dan dibina.
Para pimpinan perguruan tinggi harus memberikan kontribusi deradikalisasi di situ, jangan cuma sekedar melarang tetapi tidak terlibat menyelesaikannya secara intensif.
Pewarta: Jimmy Ayal
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019