Jayapura (ANTARA News) - Kerusakan lingkungan hidup (LH) di wilayah Kota Jayapura dan sekitarnya akibat penambangan yang berlangsung beberapa tahun ini telah menjadi ancaman serius bagi kelangsungan dan keselamatan hidup masyarakat yang bermukim di ibukota provinsi tertimur Indonesia ini. Pengakuan itu dikemukakan Kepala Kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Jayapura, Dr Jan Hendrik Hamadi, di Jayapura Kamis tentang penanganan masalah lingkungan fisik yang cukup amburadul yang sudah menjadi ancaman serius bagi keselamatan hidup masyarakat di kota itu. Hamadi menjelaskan, Jayapura sebagai pusat pengendalian pemerintahan pada masa pemerintahan kerajaan Belanda berkuasa di Irian Barat hingga menjadi salah satu pangkalan sekutu melawan Jepang ketika berkecamuknya perang dunia (PD) II 1942-1945 dikenal sebagai sebuah wilayah yang punya alam yang ramah. Pemerintah Belanda ketika itu memiliki perencanaan pembangunan dan penataan Jayapura yang berwawasan lingkungan namun sekarang semuanya telah berubah secara drastis seperti daerah resapan air di Entrop, Distrik Jayapura Selatan kini berubah menjadi pusat perbelanjaan Papua Trade Centre (PTC). Hutan lindung di kawasan Dok V sampai Angkasapura yang dulu menjadi penyangga Pegunungan Cyclops dan menjadi sumber air bersih berdebit tinggi kini terancam punah. Di kawasan Abepura didirikan rumah barak dengan seng bulat yang bertahan ratusan tahun lamanya, namun kini rumah tersebut berubah total menjadi bangunan kantor, perumahan penduduk, pusat perbelanjaan. Pertanian dan perkebunan percobaan di kawasan Kotaraja di Distrik Mnohok kini berubah dan yang tampak adalah berdiri gedung megah, sekolah, perkantoran pemerintah dan swasta serta dunia usaha. Setelah Jayapura berubah menjadi kabupaten dan terus dimekarkan menjadi Kotamadya pada tahun 1986,terlihat bangunan fisik megah dengan konsentrasi penduduk yang cukup padat dengan konsekuensi kondisi geografisnya sempit dan tidak rata. Belakangan ini, peralatan berat terus menggali karang, tanah, batu dan kerikil di pusat kota Jayapura seperti di kawasan Hamadi Gunung, Polimak (di dekat Kodam XVII Cenderawasih-Red), belakang kantor Walikota di Entrop, tanjung Teluk Yotefa yang termasuk Taman Wisata Teluk Yotefa. Lebih parah lagi, penebangan kayu untuk pembuatan rumah dan pembakaran arang sudah masuk dalam kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops yang telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh sebuah badan dibawah naungan Perseritakan Bangsa-Bangsa (PBB)dan kawasan itu menjadi sumber utama air bersih bagi penduduk di kota ini. Hamadi menjelaskan, Cycloops telah menjadi perhatian utama sebagai sumber air bersih bagi manusia dan makhluk lainnya, sehingga pusat pemerintahan di bangun di arah timur itu. Namun keinginan pemerintah lain yaitu dengan produk hukum dan Undang-undang serta kebijakan dari para elite pemerintahan itu sendiri, sehingga Jayapura dipaksa menjadi Kotamadya dan kini terjadi perubahan pembangunan fisik begitu pesat dan konsentrasi penduduk pun sangat padat, tetapi lingkungan alam yang menjadi penyangga bencana alam pun terus digilas sampai lereng kawasan cagar alam Pegunungan Cycloops. "Cycloops terus diganggu, maka tidak tertutup kemungkinan pada suatu ketika,Cyloops bukan lagi menjadi sumber mata air, tetapi sumber air mata (bencana alam-Red)," katanya prihatin. Diakuinya, sejak awal pembangunan kota ini menyimpang tanpa mempertimbangkan aspek geografis dan dampak lingkungan fisik dan sosial yang terjadi seperti sekarang ini. "Pengendalian LH merupakan merupakan tanggung jawab seluruh komponen masyarakat di kota ini," katanya. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008