Jakarta (ANTARA) - Baca juga: Mabes TNI dalami keterkaitan Enzo Allie dengan HTIKetua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC, Pratama Persada mengatakan, kasus viralnya calon Taruna TNI berinisial EZA menjadi pelajaran berharga bahwa penggunaan media sosial juga menjadi salah satu aspek penilaian dalam rekruitmen kerja ataupun pendidikan.
"Ini menjadi hal yang menarik karena media sosial kini menjadi salah satu aspek penilaian dalam perekrutan kerja atau pendidikan," kata Pratama saat dihubungi Antara melalui pesan percakapan WhatsApp di Jakarta, Kamis.
Pratama menyebutkan, di luar isu EZA memang masyarakat sebaiknya menjadikan media sosial sebagai tempat silaturahim. Di sisi lain ternyata banyak juga lembaga dan perusahaan yang menjadikan media sosial dan Google sebagai "tools" atau perangkat untuk melakukan "profiling".
Menurut dia, EZA mendadak viral di media sosial dan media massa lantaran pemuda berusia 18 tahun itu berdarah blasteran Prancis-Indonesia yang dinyatakan lolos menjadi Taruna Akademi Militer (Akmil) Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Baca juga: Menhan akan berhentikan taruna terbukti radikal
Pemuda itu pun dikabarkan terindikasi sebagai simpatisan organisasi terlarang di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Informasi terkait EZA ini hingga sekarang masih simpang siur. Kapuspen TNI sendiri meyakini bahwa EZA tidak terpapar radikalisme.
"Tentu TNI telah memiliki sistem seleksi yang ketat terhadap para calon taruna. Mulai dari tes tertulis, wawancara hingga mungkin profiling di media sosial," kata Pratama.
Untuk itu, lanjut dia, masyarakat perlu menunggu informasi resmi dari pihak TNI tentang kepastian apakah EZA benar-benar terpapar HTI atau tidak.
Apabila EZA terpapar HTI, maka sudah sepantasnya EZA diberhentikan. Karena di Indonesia HTI sudah dikategorikan sebagai organisasi terlarang.
Baca juga: Mabes TNI dalami keterkaitan Enzo Allie dengan HTI
Namun apabila ternyata EZA tidak ada sangkut pautnya dengan HTI, maka penyebar berita ini perlu diklarifikasi.
"Apabila hal ini diketahui sebagai 'hoax' atau berita palsu, maka penyebar berita ini dapat terjerat dengan UU ITE," kata Pratama.
Pratama memang tidak menampik adanya foto EZA sedang naik gunung membawa bendera lafas kalimat tauhid. Yang menjadi perdebatan netizen adalah apakah itu bendera HTI atau bukan.
"HTI memang disetiap acara dan aksi selalu membawa bendera serupa, namun banyak juga umat Islam di luar HTI yang menjadikan bendera tersebut sebagai atribut, baik di pesantren maupun di sekolah. Karena itu perlu penjelasan lebih dalam dari MUI soal bendera tersebut," kata Pratama.
Taruna Akmil keturunan Indo-Prancis, EZA, sempat menarik perhatian Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan videonya viral di media sosial setelah diajak berbicara bahasa Prancis oleh Panglima.
EZA diketahui fasih berbicara empat bahasa yakni bahasa Prancis, bahasa Inggris, bahasa Arab dan bahasa Indonesia.
Dia lahir di Prancis, tapi pindah ke Indonesia pada usia 13 tahun setelah ayahnya meninggal dunia dan memiliki status WNI.
Namun, dia diduga terpapar gerakan HTI yang diketaui dari salinan gambar media sosial Facebook.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2019