Jakarta (ANTARA) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan ada dilema antara menerima investasi asing dan mempertahankan industri dalam negeri yang tergerus akibat kurangnya inovasi dalam berproduksi.
"Kita menghadapi dilema, kita butuh investasi dari luar, tapi kalau kita tidak hati-hati, tidak bisa cepat mengubah diri maka bisa membunuh industri dalam negeri juga," kata Wapres saat memberikan pidato kunci di acara Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Hotel Aryaduta, Rabu (7/8) malam.
Seperti yang terjadi saat ini adalah tergerusnya industri semen dan baja dalam negeri akibat produk serupa dari China dijual dengan harga lebih murah daripada produk dalam negeri.
JK menjelaskan lemahnya industri PT Semen Indonesia dan PT Krakatau Steel antara lain disebabkan oleh kurangnya inovasi teknologi sehingga kedua perusahaan tersebut mengalami kelebihan produksi dengan harga jual tinggi.
"Karena masuknya (produk China) walaupun tidak besar, tapi kalau suatu market share meski kecil itu mempengaruhi harga. Terjadilah penurunan harga disamping juga oversupply," katanya.
Baca juga: Wapres: Perang dagang China-AS kesempatan Indonesia jual "peluru"
Baca juga: Wapres JK targetkan perundingan perdagangan bebas selesai akhir tahun
Baca juga: Wapres: Pendidik asing jangan langsung menjabat rektor
JK membandingkan industri semen di Indonesia rata-rata memerlukan 800 pegawai untuk memproduksi 2-3 juta ton semen. Sedangkan pabrik di China hanya memerlukan 60 pegawai untuk membuat jumlah serupa.
Sementara itu untuk produksi baja, PT Krakatau Steel mempekerjakan sekitar 8 ribu pegawai dengan teknologi lama untuk memproduksi baja. Sedangkan pabrik baja di China menggunakan tenaga paling banyak 500 orang.
Meskipun demikian, Wapres mengatakan Indonesia tetap memerlukan peningkatan nilai investasi asing untuk meningkatkan industri produk ekspor sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi lebih baik.
"Semuanya tergantung bagaimana kemampuan kita menginvestasi dan bagaimana kemampuan kita meningkatkan pendapatan lewat ekspor agar terjadi daya beli yang kuat," ujarnya.
Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019