Itulah lukisan berjudul "Kawan-kawan Revolusi" karya S Sudjojono yang dilukis di atas kanvas dengan menggunakan cat minyak. Saat ini lukisan terpampang di salah satu dinding museum Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Lukisan "Kawan-kawan Revolusi" dibeli Presiden Sukarno saat pameran Lukisan Seniman Indonesia Muda di Yogyakarta pada 25 Mei 1957 dengan berutang dan baru dibayar 2 tahun kemudian yaitu saat terjadi Agresi Militer II.
Saat itu S Sudjojono menemui Bung Karno untuk menagih utang dengan menggunakan baju kumal, Sukarno pun kasihan kepada Sudjojono sehingga ia menawarkan pakaian bekasnya yang masih bagus kepada Sudjojono, Ibu Fatmawati pun memberikan sejumlah uang dan dengan uang itu Sudjojono sekeluarga berbelanja kebutuhan sangan pangan di Malioboro.
Presiden Sukarno memang diketahui punya banyak teman para pelukis, dan pelukis-pelukis itu beberapa berasal dan tinggal di Yogyakarta, tempat Sukarno dan keluarga "mengungsi" selama 1946-1949. Soekarno akhirnya bergaul dengan banyak pelukis di sana seperti Affandi, Basoeki Abdullah, Hendra Gunawan dan lainnya.
Lukisan Pangeran Diponegoro menunggang kuda di ruangan Diponegoro Istana Yogyakarta (ANTARA News/Desca Lidya)
Menurut kurator seni istana Mikke Susanto, belakangan pemerintah mengelompokan lukisan-lukisan yang terserak di enam istana kepresidenan dengan tema-tema khusus. Istana Yogyakarta berkonsep Nasionalisme, Istana Bogor berkonsep Romantika Indonesia Nusantara, Istana Tampaksiring di Bali berkonse tradisi dan Istana Cipanas bertema memorabilia antarnegara maupun kenang-kenangan sejak zaman Sukarno.
"Istana di Jakarta tidak ada temanya, karena lebih banyak dipakai untuk kantor, jadi tergantung seleranya Presiden saja," kata Mikke.
Sebenarnya, selain menyimpan 441 lukisan, Istana Yogyakarta alias Gedung Agung juga menyimpan barang seni lain setelah zaman Presiden Soekarno.
"Kalau di era Bung Karno karena beliau suka lukisan jadi mengoleksi banyak lukisan, nah Pak Harto suka gamelan jadi ada koleksi gamelan komplit di sini, ada juga ukir-ukiran dari Jepara dan berbagai cinderamata dari luar negeri yang dikumpulkan selama 32 tahun termasuk nekara langka dari Presiden Singapura Lee Kuan Yew," kata staf museum Istana Yogyakarta Kurniawan Yudhistira.
Peletakan lukisan pun disesuaikan dengan selera Presiden atau orang dekat Presiden saat itu. Misalnya Ibu Ani Yudhoyono kurang suka dengan lukisan-lukisan wanita maka menggantinya dengan lukisan pemandangan alam seperti lukisan Pemandangan Gunung Merapi karya Basoeki Abdulah yang dipajang di ruang Sudirman.
Saat ini lukisan-lukisan itu selain menghiasi dinding-dinding istana juga ditampilkan di museum istana yang saat ini sebagian tempatnya sedang direnovasi untuk menambah luas ruangan.
Lukisan Perjuangan
Karya Raden Saleh yang jadi koleksi museum Istaya Yogyakarta (ANTARA News/Desca Lidya)
Satu lukisan yang tampak mencolok di lantai 1 museum adalah lukisan "Berburu Banteng" karya Raden Saleh. Lukisan itu saat ini "menggantikan" ikon Gedung Agung yait lukisan "Penangapan Diponegoro" --juga karya Raden Saleh-- yang saat ini dibawa ke Istana Merdeka.
Lukisan "Berburu Banteng" dibuat pada 1851 menceritakan hawa nafsu manusia, serakah ingin mengusik kehidupan makhluk lain. Dalam lukisan digambarkan pemburu berupaya menangkap banteng, salah satu pemburu bahkan terjatuh karena mengejar hewan liar di padang gurun namun berbunga tersebut.
"Raden Saleh bisa mengungkapkan detail sekecil apapun yang mata telanjang juga tidak terlalu memperhatikan, misalnya corak lurik kain batik pemburu, kelinting di leher anjing, kancing yang ada di sepatu bots, cincin dari pemburu yang kecil pun beliau gambar di sini. Detail ini bisa juga untuk membedakan lukisan asli atau tiruan Raden Saleh," kata Kurniawan.
Satu lukisan Raden Saleh yang harganya berkisar ratusan miliar itu hanya satu dari lukisan-lukisan karya para maestro yang disimpan di museum. Masih ada juga lukisan simbol nasionalisme seperti lukisan "Kawan-kawan Revolusi", "Markas Laskar Rakyat di Bekas Gudang Beras Cikampek", lukisan "Sekko" karya Dullah dan belasan lukisan pahlawan nasional yang dipesan Sukarno kepada komunitas seniman Yogyakarta yang bermarkas di Alun-alun Yogyakarta
"Bung Karno itu hebat karena dia pernah berkata kalau dia tidak menjadi seorang presiden maka dia akan menjadi seorang pelukis. Bahkan saat Agresi Militer Belanda II, dia masih sibuk mengurus Affandi agar bisa berkuliah di India, padahal di sini sedang genting tapi dia sempat mengurus soal seni," ungkap Kurniawan.
Salah satu judul lukisan di Istana Yogyakarta (ANTARA News/Desca Lidya)
Lukisan perjuangan lain adalah "Persiapan Gerilya" karya Dullah yang dibuat pada 1949 dan merekam aktivitas pejuang sebelum perang gerilya dimulai, seperti menyiapkan amunisi, meminum air dalam kendi dan juga mengobrol. Lukisan itu pun menjadi sampul buku "Di Bawah Bendera Revolusi" karya Sukarno.
"Pak Dullah saat melukis tidak bisa imajinatif tapi harus ada objeknya. Jadi lukisan ini modelnya memang orang-orang terdekat Bung Karno, ada tukang kebun, supir, tukang-tukang batu dari Wonosari disuruh memeragakan adegan-adegan itu," cerita Kurniawan.
Lukisan berukuran cukup besar itu bahkan sebenarnya sudah dipotong di sisi kirinya sehingga bila diperhatikan dengan jeli hanya separuh tubuh seseorang yang tampil di dalam lukisan itu.
"Pak Dullah saja sampai menangis karena lukisannya dipotong. Pak Sudjojono yang sama-sama pelukisnya Bung Karno mengatakan bahwa Bung Karno tidak pesan sepanjang ini Kenapa kamu lukis sepanjang ini? Makanya dipotong menggunakan gunting dan Pak Dullah pun menangis," ungkap Kurniawan.
Potongan lukisan itu lalu ditimpa oleh S Sudjojono menjadi lukisan "Jalan Menuju Kaliurang" yang diubah judulnya oleh Presiden Sukarno menjadi lukisan "Seribu Pandang" dan saat ini juga berada di istana di Jakarta, dipindahkan dari Istana Cipanas.
"Jadi satu kanvas isinya 2 lukisan, sebenarnya lukisan itu mahal banget karena di balik lukisan "Seribu Pandang" itu ada lukisan "Persiapan Gerilya"," tambah Kurniawan.
Selain lukisan bertema revolusi ada juga lukisan pesanan Presiden Sukarno seperti lukisan "Perkelahian Antara Rahwana dan Djataju Memperebutkan Sinta" karya Basuki Abdullah yang awalnya dirasa kurang dramatis oleh Sukarno dan meminta tambahan petir sebagai latar belakangnya.
Basuki Abdullah juga melukis banyak lukisan perempuan yang dipesan Sukarno termasuk lukisan Nyi Roro Kidul dalam berbagai interpretasi, setidaknya ada 5 lukisan tentang Ratu Pantai Selatan itu dibuat Basuki Abdullah, salah satu lukisan bahkan menggunakan tangan Ibu Fatmawati sebagai modelnya.
Selain melukis di atas kanvas menggunakan minyak, Basuki Abdullah --anak dari pelukis Abdullah Suriosubroto yang merupakan anak dari dr. Cipto Mangunkusumo, pendiri Budi Utomo-- juga menggunakan konte, batang isi pensil sejenis arang tapi padat untuk melukis. Hasil lukisannya adalah potret Sukarno yang dijadikan perangko.
Terkait lukisan "Kawan-kawan Revolusi", menurut Kurniawan, Presiden Sukarno selalu memanjatkan doa di depan lukisan itu ketika memamerkan lukisan itu di hadapan tamu negara. Model di dalam lukisan itu juga tidak melulu tentara yang ditunjukkan dengan topi baret di atas kepalanya. Ada anak kecil termasuk anak S Sudjodjono dan rakyat biasa bernama bang Dullah yang memborbardir 8 tank Belanda tapi akhirnya juga gugur bunuh diri saat Agresi Militer Belanda II.
Tidak ketinggalan di dalam lukisan itu ada potret pelukis yang ditandai dengan topi "flatcap" khas pelukis.
Kurniawan menilai bahwa pelukis pun pejuang salah satunya dengan lukisan massal tangan yang melepaskan rantai. Gambar itu marak pada masa perjuangan kemerdekaan, di bawah lukisan itu ada tulisan "bung ayo bung".
"Gambar itu yang menggambar Pak Affandi mengambil kata-katanya Chairil Anwar di lokalisasi. Kalau zaman sekarang mas ayo mas untuk menjajakan diri tapi dulu itu disebut bung ayo bung makanya gambarnya tangan yang terbelunggu dimerdekakan. Lukisan itu dan semua lukisan sebelum kemerdekaan bertujuan membangkitkan jiwa untuk mencapai kemerdekaan," tegas Kurniawan.
Melalui lukisan-lukisan karya Affandi, S. Soedjojono, Dullah dan kawan-kawan, Presiden Sukarno berupaya membakarn semangat rakyat sehingga rangkaian peristiwa yang ditorehkan pelukis di kanvas senafas menuju tujuan Indonesia merdeka.
Seni rupa, khususnya lukisan pun mengambil banyak peran dalam kemerdekaan Indonesia.
(Baca juga: Mengenal Istana Kepresidenan - Cerita revolusi dari Gedung Agung)
Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017