Di bawah lantai ruang tamu ini ada ruang bawah tanah. Dulu fungsinya sebagai penjara bawah tanah tapi sekarang menjadi gudang barang pecah belah. Kalau mau masuk ada pintu dari samping kiri gedung induk

Jakarta (ANTARA News) - Tepat di jalan raya Jakarta dan Bandung sekitar 103 kilometer dari Jakarta arah Puncak berdiri bangunan anggun bercirikan khas gaya tradisional.

Itulah Istana Cipanas yang bangunannya sebagian besar terbuat dari papan dan kayu. Luas bangunan "hanya" sekitar 7.760 meter persegi atau hanya 0,03 persen dari total areal kompleks istana seluas sekitar 26 hektare.

Berada di ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut di kaki Gunung Gede, areal hutan istana ditumbuhi pepohonan tinggi dengan tatanan tanaman keras yang nyaman, seperti "pohon sosis" (Kigelia aethiopica Decne in Delles) dan pohon kayu manis, tumbuh hampir di setiap sudut halaman istana.


Gedung induk Istana Cipanas (ANTARA News/Desca Lidya)

Istana Cipanas bermula dari sebuah bangunan yang didirikan pada 1740 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Gustav W. Baron van Imhoff oleh seorang tuan tanah Belanda bernama Van Heots. Pembangunan diawali karena daya tarik sumber air panas di tempat itu sehingga dibangun satu gedung kesehatan di sekitar sumber air panas mineral tersebut.

Karena udara pengunungan yang sejuk serta alamnya yang bersih dan segar maka bangunan itu sempat dijadikan tempat peristirahatan para Gubernur Jenderal Belanda. Thomas Stanford Raffles (1811-1816) dan Leonard du Bus de Gisignies (1826-1830) senang mandi air belerang sebagai obat lelah. Mulai tahun 1916, pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, tiga buah bangunan berdiri di dalam kompleks istana ini.

Saat itu, gedung kesehatan di dalam kompleks istana dapat menampung kira-kira 30 anggota militer yang memerlukan perawatan dan memanfaatkan sumber air mineral dan udara pegunungan yang dingin dan segar. Gubernur Jenderal Belanda itu juga menempatkan beberapa ratu pekerja di kebun apel, kebun bunga, penggilingan padi dan pengurus sapi, biri-biri serta kuda.

Orang-orang tidur dengan selimut wol dan menggigil tiap pagi mengingat suhu bisa mencapai minus 10 derajat Celcius. Tapi mata air panas berbelerang yang berlimpah-limpah dan kadang mengelurkan batu-batu lava kecil sangat menghibur para penghuni istana.

Meski lama menjadi tempat peristirahatan orang Belanda, istana itu tidak kehilangan ciri keindonesiaannya. Hal itu ditandai dengan material kayu jati untuk bangunan gedung utama dan kaca patri khas Indonesia di bagian serambi depan.


Serambi depan Gedung Induk Istana Cipanas (ANTARA News/Desca Lidya)

Luas gedung induk adalah 982 meter persegi dengan pilihan corak arsitektur tradisional yang memiliki serambi depan lebih tinggi. Untuk mencapainya pengunjung diantar oleh sebelas anak tangga menuju dua dinding samping serambi yang ditutup kaca patri berbingkaikan timah.

Gedung induk juga dirancang sedemikan rupa sehingga anti-gempa. Tembok-tembok gedung utama terdiri atas plat baja yang dibentuk seperti parutan lalu ditempel semen merah. Setidaknya ada 22 bangunan lain di kompleks Istana Cipanas yang digunakan untuk kantor, penginapan, museum hingga pemandian, namun hanya gedung utama dan gedung bentol yang punya ciri khusus.

Ruang pertama di bangunan induk adalah ruang tamu yang digunakan oleh persiden maupun wakil presiden untuk menjamu tamu kenegaraan. Ada dua lampu kristal dari Cekoslovakia buatan 1900 tergantung di langit-langit.

Di dinding sebelah kanan dan kiri ada dua lukisan Basoeki Abdullah yang diciptakan pada 1966, menunjukkan pemandangan Gunung Merapi dan Gunung Gede. Sedangkan untuk furniturnya ada dua set tempat duduk yang didatangkan dari Jepara pada 1984. Menutup lantai kayu terbentang permadani warna merah besar asal Turki yang sudah ada sejak 1950.

"Di bawah lantai ruang tamu ini ada ruang bawah tanah. Dulu fungsinya sebagai penjara bawah tanah tapi sekarang menjadi gudang barang pecah belah. Kalau mau masuk ada pintu dari samping kiri gedung induk," kata staf Istana Cipanas, Anisa.

Dari ruang tamu, ada ruang kerja yang biasa digunakan Presiden RI. Ruangan itu terdiri atas satu meja kerja dan beberapa kursi kayu yang merupakan peninggalan Presiden Soekarno.

Selepas ruang kerja, ada koridor menuju ruang tengah. Di koridor itu ada foto Gubernur Jenderal Belanda Gustav W. Baron van Imhoff yang menjadikan gedung kesehatan menjadi Istana Cipanas berdampingan dengan lukisan Ayam Jago buatan pelukis istana Lee Man Feng.

Di ruang tengah itu juga seharusnya tergantung lukisan karya Soejono D.S tahun 1958 yang dikenal dengan nama Jalan Seribu Pandang, meski judul aslinya adalah Jalan Menuju Kaliurang. Lukisan ini spesial karena dari arah mana pun lukisan itu dipandang, jalan dalam lukisan itu selalu berubah-ubah, menjadi searah dengan pandangan mata pemandang sehingga Presiden Soekarno memberikan nama "Jalan Seribu Pandang". Namun karena spesial tersebut, lukisan "Jalan Seribu Pandang" diminta oleh Istana Jakarta dan tidak lagi tergantung di Istana Cipanas.

Sejumlah barang di ruang tengah juga merupakan peninggalan para Presiden RI, seperti guci plered Purwakarta peninggalan Megawati Soekarnoputri. Guci itu menggantikan guci tua berusia 500 tahun yang dibawa ke Istana di Jakarta. Masih ada juga dua keramik warna biru dan putih dari Vietnam, satu set meja makan hingga lampu kristal seberat 500 kilogram.

Di ruangan itu juga ada peristiwa pemotongan mata uang (sanering) dari Rp1.000 menjadi Rp1. Pada 13 Desember 1965 dan Presiden Soekarno memimpin peristiwa sanering itu. Di ruang itu juga pernah terjadi pertemuan damai antara kelompok Moro National Liberation Front (MLNF) dengan pemerintah Filipina. Pertemuan dipimpin oleh Menteri Luar Negeri saat itu Ali Alatas atas prakarsa Presiden Soeharto.

Dari ruang tengah, ada tiga kamar tidur untuk presiden maupun wakil presiden dan keluarga yang menginap. Di lorong sepanjang kamar ada tiga lukisan: dua lukisan wanita berkebaya dan satu lukisan berjudul "Potret Seorang Tetangga".

Lorong itu mengantarkan pengunjung ke serambi belakang yang terbuka. Di serambi itu ada sofa rotan yang dapat membuat orang yang duduk di atasnya berlama-lama diam memandangi landscape taman hutan istana. Dari serambi belakang, pengunjung juga dapat melihat paviliun-paviliun yang mengelilingi gedung utama.

Ada delapan paviliun di areal istana, yaitu paviliun Yudistira, Bima dan Arjuna yang dibangun pada masa Presiden Soekarno. Selanjutnya pada masa Presiden Soeharto sekitar tahun 1983, dua buah paviliun lainnya menyusul berdiri, yaitu Nakula dan Sadewa. Paviliun Abimanyu dibangun pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Di samping itu, terdapat dua bangunan lainnya yang diberi nama paviliun Tumaritis I dan Tumaritis II yang lokasinya agak terpisah dari sekitar gedung induk dan enam paviliun lain.


Paviliun Bima Istana Cipanas (ANTARA News/Desca Lidya)

Di Istana Cipanas inilah, tepatnya di Gedung Induk, Presiden Soekarno juga menikahi Ibu Hartini.

Selain Presiden Soekarno, Edhi Baskoro Yudhoyono, putra ke-2 Presiden Susilo Bambang Yudhyono juga menikah di Istana Cipanas. Serambi belakang digunakan untuk tempat mempelai laki-laki, sedangkan perempuan di paviliun Yudhistira, ada tenda besar menutupi pohon besar di tengah taman istana.

Rahasia Kehangatan

Rahasia kehangatan Istana Cipanas terletak di dua sumber mata air panas di bagian tengah kompleks istana.

Terdapat dua bangunan pemandian, bangunan pertama dikhususkan untuk mandi presiden dan wakil presiden beserta keluarganya. Bangunan kedua yang lebih besar dari yang pertama disediakan untuk rombongan yang menyertai presiden atau wakil presiden.

Sumber air panas diprediksi berasal dari rembesan kawah Gunung Gede, sumber itu berjarak tidak kurang 20 kilometer dari Gunung Gede yang saat ini sudah tidak aktif lagi sebagai gunung vulkanik sehingga saat ini suhu mata air itu hanya pada kisaran 30 derajat Celcius, tidak sampai 48 derajat seperti dulu. Air di bak penampungan pun lebih jernih, kadar belerangnya pun lebih rendah.


Kolam pemandian VIP di Istana Cipanas (ANTARA News/Desca Lidya)

Kolam yang dicat biru dengan kedalaman sekitar 80 cm itu tampak terisi air jernih dan tak tampak mengepulkan asap belerang.

Tidak jauh sebelum gedung pemandian, tampak sebuah danau terbuka yang berdiri di atas kolam pemancingan ikan. Selain itu, di sebelah kiri halaman belakang gedung induk juga terdapat masjid Baiturrahim rangkaian bangunan ruang perkantoran. Di samping itu, di sisi sebelah kiri gedung induk ada rumah kebun yang digunakan sebagai tempat pembibitan dan perancangan taman bunga dan taman hutan istana.

Jauh terpencil di halaman belakang istana terdapat bangunan mungil dinamakan gedung bentol, sekeliling dinding tembok luar serta pelataran depan dan samping bangunan ini berhiaskan batu berbentuk bentol. Bangunan mungil itu dibangun arsitek RM Sudarsono dan F Silaban.


Gedung Bentol Istana Cipanas (ANTARA News/Desca Lidya)

Bangunan mirip jamur itu berdiri lebih tinggi daripada bangunan lain, termasuk gedung induk karena memang dibangun di lereng gunung. Di tempat itulah Presiden Soekarno sering mencari ilham untuk penulisan pidato-pidato 17 Agustus. Satu meja dan kursi kerja yang menghadap ke jendela kaca Gunung Gede seakan melatari gedung ini.

Gedung seluas 45 meter persegi dengan atap kayu ulin itu dibangun pada 1953 dan selesai pada 1954 atas permintaan Presiden Soekarno. Bila berada di Gedung Bentol, Presiden Soekarno bisa dengan jelas melihat dinding kawah Gedung Gede --bila tak tertutup awan.

"Salah satu presiden yang mengikuti jejaknya adalah Pak SBY, Pak SBY suka di situ dan melakukan bermacam aktivitas di sana," kata staf Istana Cipanas, Wawan Suryana.

Tidak ketinggalan masih ada taman herbalia yang digagas oleh Ibu Ani Yudhyono. Taman memiliki sekitar 400 jenis tanaman herbal untuk mengobati berbagai penyakit, seperti ginjal, hepatitis, panas dalam dan berbagai penyakit lainnya. Tidak ketinggalan ada tanaman "Iriana plant" yang fotonya "jepretan" Ani Yudhoyono terpasang di salah satu sudut museum Istana Cipanas.

Akhirnya meski terletak di ketinggian, Istana Cipanas memang hangat, tak hanya karena punya sumber mata air panas tapi juga karena keguyuban suasana di dalamnya.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017