Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah perlu mengedukasi masyarakat tentang media sosial, karena bagi sebagian masyarakat Indonesia, medsos adalah barang baru, demikian disampaikan Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute.
"Yang pertama-tama media sosial kan bagi sebagian orang adalah barang baru, jadi pemerintah dan masyarakat perlu mengedukasi pengguna medsos, apa yang boleh ditulis dan di-share serta menjelaskan aturan hukum larangan-larangan yang ada," kata Heru melalui pesan elektronik di Jakarta, Kamis.
Sehingga, masyarakat juga berhati-hati untuk ikut kelompok tertentu yang menyebarkan ujaran kebencian, fitnah atau provokasi sara.
Menurut Heru, bagi masyarakat secara umum, ke depan mungkin perlu berhati-hati dan memilah serta memilih informasi yang layak dan penting di-share. "Kalau pun membagi informasi harus lah jelas sumbernya," ujarnya.
Ia menambahkan, saat ini banyak media online abal-abal yang memang menjadi pusat dari informasi yang dibagikan, dan cenderung tidak netral. "Ini menjadi tugas kepolisian juga untuk mengungkap dan pemerintah melakukan pemanggilan terhadap media tersebut, agar tidak ditiru," pungkasnya.
Kelompok Saracen
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri meringkus tiga tersangka pengelola grup yang berisi konten ujaran kebencian di jejaring sosial Facebook, Saracen.
Kepala Subdirektorat 1 Tindak Pidana Siber Bareskrim Kombes Pol Irwan Anwar di Mabes Polri, Rabu, mengatakan tiga tersangka yang ditangkap adalah MFT, SRN dan JAS.
"Satgas Patroli Siber melakukan penegakkan hukum terhadap pengurus grup Saracen dengan menangkap tiga tersangka pengurusnya," kata Irwan.
Irwan mengatakan Grup Saracen membuat sejumlah akun Facebook di antaranya Saracen News, Saracen Cyber Team dan Saracennewscom.
Jumlah pengikut yang tergabung dalam beberapa grup Saracen tersebut berjumlah sekitar 800 ribu akun.
Menurut Irwan, sejumlah akun Saracen ini selalu menyebarkan konten berisi ujaran kebencian yang bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan. Saracen telah dikelola oleh kelompok ini sejak November 2015.
Tiga tersangka memiliki perannya masing-masing. JAS berperan sebagai Ketua Grup Saracen yang berperan mengunggah postingan provokatif yang mengandung isu SARA.
"Unggahan tersebut berupa kata-kata, narasi, maupun meme yang mengarahkan opini pembaca agar berpandangan negatif kepada kelompok masyarakat lainnya," ungkapnya.
Selain itu JAS juga berperan melakukan pemulihan terhadap akun anggotanya yang diblokir oleh Facebook. JAS juga membantu membuatkan akun Facebook baik yang asli, semi anonim maupun anonim.
"Hal ini berdasarkan temuan banyaknya hasil scan (pindai) KTP, paspor, data tanggal lahir dan nomor ponsel pemilik akun," ucapnya.
JAS diketahui memiliki 11 akun email dan enam akun Facebook yang digunakan untuk membuat sejumlah grup di FB.
"JAS juga sering berganti nomor ponsel dalam pembuatan akun email dan FB," imbuhnya.
Sementara MFT berperan sebagai pengurus Saracen di bidang media informasi.
"MFT menyebarkan ujaran kebencian dengan mengunggah meme dan foto yang telah diedit serta membagikan ulang posting dari anggota Saracen lainnya yang bertemakan isu SARA melalui akun pribadi miliknya," ujarnya.
Sementara tersangka SRN adalah pengurus Saracen yang melakukan koordinasi di berbagai grup berdasarkan wilayah.
Dalam pengungkapan kasus ini, penyidik menyita sejumlah barang bukti yakni 58 buah kartu telepon berbagai operator, tujuh unit telepon genggam, empat buah kartu memori, enam buah flashdisk, enam buah hardisk komputer, dan dua unit komputer jinjing.
Pewarta: Sella Panduarsa & Anita Permata
Pewarta: Sella Panduarsa & Anita Permata
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017