Jika tidak melakukan apa pun, kita akan berakhir dengan laut penuh darah."
Lima (ANTARA News) - Amerika Latin perlu mengambil tindakan untuk membantu Venezuela menyelesaikan kemalut politiknya atau negara tersebut berubah menjadi "lautan darah", kata Presiden Peru Pedro Pablo Kuczynski pada Senin, dengan memperingatkan gelombang pengungsi bisa memasuki negara tetangganya, Kolombia.
Kuczynski mengatakan dalam konferensi di Madrid bahwa Presiden Nicolas Maduro harus membolehkan bantuan kemanusiaan masuk ke negaranya, penghasil minyak tapi mengalami masalah ekonomi, lapor Reuters.
Puluhan orang tewas dalam unjuk rasa menentang pemerintahan sosialis Maduro sejak April.
"Jika tidak melakukan apa pun, kita akan berakhir dengan laut penuh darah," kata Kuczynski, mantan bankir, yang mengambil alih kepemimpinan di kalangan pemimpin Amerika Latin dalam mengkritik Maduro.
Dia memperingatkan ancaman imigrasi besar-besaran ke Kolombia, dan mengatakan bahwa para pengungsi yang putus asa bahkan bisa mencoba untuk mencapai Pulau Karibia Curacao, mempertaruhkan mengulangi perjalanan di Laut Tengah yang mematikan yang dilakukan oleh pengungsi dari Suriah dan Irak.
"Kita harus menghindarinya. Jika Amerika Latin memiliki solidaritas di antara negara-negara anggotanya, kita harus berusaha mencari solusi," kata Kuczynski, menurut sebuah pernyataan dari kantornya di Lima.
Venezuela telah kehilangan banyak sekutu regional karena beberapa negara Amerika Latin telah bergerak ke kana dalam beberapa tahun terakhir.
Kelompok hak asasi manusia telah mengkritik reaksi pemerintah Venezuela terhadap para demonstrans, dengan mengatakan bahwa "penggunaan kekerasan yang berlebihan" dan militerisasi telah meningkatkan kekerasan tersebut.
Pejabat Venezuela mengatakan bahwa dunia mengabaikan kebrutalan oposisi termasuk penembakan pejabat keamanan dan perekrutan pemrotes di bawah umur.
Sebelumnya, Presiden Venezuela Nicolas Maduro berjanji akan menyelenggarakan referendum mengenai konstitusi baru, yang ia usulkan untuk menanggapi unjuk rasa, yang telah berlangsung dua bulan.
Penentangnya mengadakan unjuk rasa dan menyebutnya diktator dan menginginkan kekuasaan sosialis diakhiri.
Presiden Maduro mengeluarkan komentar-komentar menanggapi kritik tak hanya dari para penentang tetapi juga dari dalam tubuh pemerintah. Mereka mengecam rencana presiden yang akan membentuk lembaga super yang baru, dikenal dengan nama majelis konstituen, untuk menulis kembali piagam nasional. Rencana itu dikecam karena anti-demokrasi.
Kepala jaksa negara Luisa Ortega mengatakan pembentukan majelis tanpa pemungutan suara seperti terjadi tahun 1999 ketika pendahulu Maduro, Hugo Chavez membuat kembali konstitusi, mengancam "menyingkirkan" demokrasi di Venezuela.
Belum ada tanggapan dari oposisi Venezuela, yang memiliki dukungan mayoritas setelah bertahun-tahun dalam bayang-bayang Partai Sosialis, yang ketenarannya merosot selama krisis ekonomi parah di negara anggota OPEC itu.
Lawan politik tampak mencoba dan mengalihkan referendum jadi pemungutan suara bagi Maduro sendiri. Mereka telah menyerukan pemilihan presiden mendatang yang dijadwalkan akhir tahun 2018.
Pemerintah mengatakan pemilihan umum untuk majelis konstituen baru akan diadakan akhir Juli, walau pemimpin oposisi mengatakan proses tersebut dicondongkan untuk menjamin mayoritas pro-Maduro.
(Uu.G003/B002)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017