Jakarta (ANTARA News) - Pada 1 Juni 2017, majalah remaja pria Hai menerbitkan edisi cetak terakhir mereka.

Di edisi cetak terakhir, Hai menyematkan dua pernyataan penting di sampulnya, "Last Print Issue" sebagai pengumuman akhir edisi cetak dan "We Need More Space" sebagai alasan di balik keputusan yang menimbulkan di kalangan pembaca mereka, terutama pembaca di era media cetak masih jaya.


Mereka memutuskan menghentikan edisi cetak untuk sepenuhnya berkonsentrasi menjangkau ceruk pembaca mereka lewat platform daring di laman hai.grid.co.id.


Selain menjadi "teman nongkrong" remaja pria seperti citra jenama yang mereka bangun, Hai juga mengorbitkan banyak ikon dan sosok, termasuk Hilman Hariwijaya dengan seri Lupus, Gola Gong dengan berbagai novelnya, hingga Wedha Abdul Rasyid dengan Wedha's Pop Art Portait yang menyemarakkan ilustrasi di majalah tersebut.


Pada Senin (5/6), ANTARA News berkesempatan berbincang-bincang dengan kru yang kini mengampu masa transisi menuju penguatan Hai menjadi media daring remaja pria, termasuk Didi Kaspi Kasim yang ditunjuk menjadi Acting Editor in Chief.


Selain, Didi, lima reporter Hai yakni Rahadian "Rian" Sidik, Rizki "Kiram" Ramadhan, Fadli Adzani, Agassi Moriand dan Alvin Baharserta Tiara Tri Hapsari selaku Marketing & Communication turut terlibat dalam sesi tanya jawab dengan ANTARA News.


Berikut petikan tanya jawab mengenai upaya mereka mengorbitkan sosok baru serta tantangan dan strategi Hai menghadapi dinamika generasi muda yang menjadi ceruk pembaca utama mereka.


Majalah Hai mengorbitkan banyak nama seperti Hilman Hariwijaya, Gola Gong bahkan WPAP, semangat seperti itu bagaimana di Hai yang online?


Rian (R)
: Kalau semangat untuk memunculkan sosok baru di era digital seperti sekarang pastinya kita udah kebayang juga untuk hal-hal yang gitu, walaupun emang dampaknya mungkin enggak sedahsyat di era print dulu, ketika ada Gola Gong, ada Lupus kayak gitu.


Kalau sekarang kan sebenernya kalau kita ngeliat satu sosok yang kita anggap layak, cuma belum tentu audiens yang lain care padahal keren.


Misalkan, Alvin pernah nemuin ada anak Indonesia yang kuliah sambil freelance di Inggris terus dia ikutan bikin video klip Bring Me The Horizon, itu kayak band rock metal yang oke banget. Namanya si Fadlan, kita profilin dia, kita kenalan lah, sampe dia ke Indonesia juga kita ketemu.


Alvin (Av): Tapi dia juga terima kasih sama Hai, karena begitu sampe Indonesia banyak yang ngajak kerja sama jadi model dan sebagainya. Ampe gua ditraktir gitu. Meskipun emang gaungnya gak segede itu sih.


R: Ya. Hal-hal yang kayak gitu. Terus dulu sebelum isu Ahok (mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama -red) seramai sekarang, sekira dua tahun lalu, kita masuk ke sosok anaknya Ahok. Terlepas dari isu politik atau nggak ke anak Haji Lulung juga.

Hal-hal kayak gitu yang sebenernya mungkin nyentriknya Hai. Walaupun kita juga sebenernya peka sama situasi.


Terus ada siapa lagi ya. Ya kalau bad influencer yang di-itu-in sama orang-orang ada Young Lexx sama Awkarin gitu.


Gua nggak menyebut itu sebagai satu kebanggaan sih, cuman ya di media mainstream nasional ya Hai yang paling berani, walaupun risikonya besar juga gitu. Dengan pro-kontra.


Didi (D): Tapi itu kan sikap. Media harus punya sikap.


R: Itu sikap. Dan kita emang harus punya sense untuk mencium hal-hal yang happening di anak muda.


D: Itu sih yang memang harus dilatih terus. Ketika masih ngurusin print hal-hal yang kayak gitu itu bakal berat. Karena mereka harus berinteraksi, mengikuti perkembangan, gitu-gitu, dan print sangat mengikat mereka sehingga tidak bisa berlari kencang.


R: Contoh paling baru ada kasus Afi aja ya Ram. Itu per hari besoknya udah beda-beda, besoknya udah dipanggil Jokowi (Presiden Joko Widodo -red), kemudian dipanggil yang lain lagi, kalau kita harus kerjain di cetak itu infonya bisa basi banget.


D: Kalau di print terbitnya akhir bulan, udah mana-mana tahu.


Tantangan buat Hai sekarang supaya tetap mempertahankan citra "teman nongkrong"?


R
: Kalau gua sesimpel ini, setiap masa ada orangnya. Ada orang siapa yang besar bersama Hai, dan siapa yang kerja di Hai saat itu. Nah karena setiap era ada orangnya, sekarang eranya kita nih, era kita berlima di sini. Itu sih tantangan terbesar, Hai tetep sekeren di print dulu, tapi digital, menurut gua sih itu tantangan yang sekaligus jadi motivasi sih.


Ya dulu ada Mas Arswendo (Atmowiloto -red), Yorris (Sebastian -red), dulu ada banyak orang-orang keren. Masa kita gak bisa sih? Yang penting gimana kita tetep related dengan kehidupan remaja milenial di era sekarang gitu, itu sih yang kita harus bener-bener. Enggak ada batas, jadi temen yang asik, buat nongkrong, ngebantu temen dalam masa remaja yang masa penting dalam hidup supaya gak salah jalan.

Dan kalau gua sendiri yang tersisa di sini gua harus jadi sesuatu lah, udah bertahan sejauh ini ya kita ada brand legend kita jaga bareng-bareng.


Kiram (K): Kalau gue, sebagai media kita dihadapin sama online semua sih. Kita bikin konten tapi kita berhadapan sama orang-orang yang bisa bikin konten sendiri, dan anak-anak muda yang bisa bikin vlog sendiri misalnya, nah kayak gitu.


Kita sebagai brand ya harus bisa itu tantangannya juga sih untuk tetep bisa bikin konten yang enggak kalah keren dari yang dibikin sama para amatiran di luar sana, influencer di luar sana.


Agassi (Ag): Sama image kita. Dulu Hai itu terkenalnya Hai itu sebagai majalah musik gitu ya, apalagi sampai ada yang bilang majalah musik metal segala macem. Sedangkan kita tetep nulis tentang metal, lifestyle, JKT (grup idola JKT48 -red) mungkin. Cuma orang-orang selalu bilang "wah hai kok gak kayak dulu ya, gak metal lagi."

Nah kita berusaha mengubah paradigma itu bahwa sebenernya itu tuh yang dulu, sedangkan kita yang sekarang seperti ini. Mungkin itu sedikit tantangan biar orang enggak terfokus ke Hai jaman dulu yang majalah metal.


Fadli (F): Sebenernya sih, kan anak remaja itu kan labil ya. Audiens kita remaja. Apa yang mereka sukai sekarang belum tentu mereka suka besoknya. Nah itu kita harus keep up bener-bener sama mereka kan. Kita harus tetep...


R: Karena mereka dinamis banget. Dulu jamannya Mas Didi mungkin ya, remaja nungguin Hai terbit, sekarang enggak bisa, ya hari itu Hai enggak ada yang oke ya udah gua tinggal, gua cari ke tempat lain, mereka bisa memilih sekuat itu. Apalagi sekarang pilihannya banyak, antara mau media atau langsung mempercayai influencer langsung, official account juga tantangannya, main comot gitu kan.


D: Itu tantangan besarnya sih. Keep up sama waktu. Kemudian konsisten mempertahankan brand equity-nya Hai gitu. Itu emang yang menjadi, kalau kita bisa mempertahankan itu, rasanya kita bisa tetep jadi temen-temennya anak muda sih.

Dan yang pasti kan sebenernya kita pingin Hai itu brand yang bermanfaat buat milenial, artinya ini brand yang sangat kuat, image kuat, dan kita tuh potential collaborators buat anak-anak muda.

Lo mau ngapain aja nih gua menyediakan brand gua untuk lo berkolaborasi dengan gua. Gua sediain platformnya, gua menjadi temen lo, gua rela untuk... kita campaign berkali-kali, kita ada menggerakkan kolaborasi.

Lo butuh musik, lo butuh panggung, gua sediain panggungnya, gua nyari sponsor segala macem, atau nyari partnership-nya dan kita kerja bareng. Dan itu sih yang lebih utama buat kita yang menjadi target kita lebih engage ke temen-temen audiensnya. Kekuatan logo kita ini bisa kita manfaatkan untuk anak-anak muda.

Lo bisa bikin diskusi, lo punya apa sini gua bisa bikin suara lo lebih gede ketika ngomong bareng gua ketimbang ngomong sendiri.


Strategi menghadapi perubahan yang ada dari sisi redaksi?


R
: Ya mungkin sesimpel ini sih, kita posisikan gua sama lo temenan. Lo audiens gua Hai gitu, lo bakal engage dan betah nongkrong sama gua ketika lo ngerasa nyaman. Dan kalau Hai di sini berusaha ngeliat lebih dari segi konten kali ya, gimana kita menampilkan image di sosmed kita.

Kita selalu meng-update informasi yang lo butuhin.

Misal lo anak SMA, anak band, kita punya platform Hai Demos, sekarang under construction kita mau reborn lagi. Itu dahsyat banget tanpa kita promoin user-nya ada 15 ribu dan ketika ada Hai Day atau open stage itu selalu penuh anak band yang mereka sebatas gua pengen main aja, ekspresiin gua aja.


Av: Padahal buat tampil harus punya akun di Demos tapi ya ada dan banyak aja.


R: Dan selain itu kita juga punya banyak komunitas pengusaha-pengusaha muda, kita nyebutnya heroes among us. Itu banyak banget ternyata kalau kita lihat Jakcloth, event clothing itu dari nobody jadi somebody itu cepet banget.

Makanya kita berteman dengan sosok muda yang sukses ini, terus ngobrol, jadiin artikel, trus kita share jadi sebuah informasi dalam bentuk artikel, infografis, atau mungkin video gitu, nantinya akan seperti itu.

Intinya lo banyak untung deh temenan sama gua, temenan sama Hai nih, cuman mungkin di suatu saat ngingetin lo sebagai temen yang udah agak dewasa nih kalau udah coba-coba drugs, coba2 seks bebas.Gua punya kisah juga yang bisa bikin lo mikir 1.000 kali buat ngelakuin itu. Di situ kita nyari informasi yang sebetulnya ini kita lakuin di print juga, cuma akan kita bisa lebih maksimalin di digital.



Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017