Ia nampak semangat dan optimistis, gerai permanen yang disebut Paviliun Indonesia itu bakal menjadi jendela, tidak hanya bagi masyarakat Rusia tapi juga negara lain, untuk mengenal produk-produk Nusantara.
Layaknya sebuah paviliun, sang pemilik, pemerintah dan swasta, bahu membahu mempercantik ruangan itu sehingga menjadi arena pamer yang menarik mata yang lewat.
Apalagi paviliun seluas 180 meter persegi tersebut terletak cukup strategis, di lantai dua, dekat tangga jalan untuk pengunjung naik dan turun.
ANTARA News/Risbiani Fardaniah
Paviliun Indonesia bersama sejumlah gerai permanen dari 21 negara lainnya menempati bangunan di kawasan Food City, Moskow.
Sebuah kawasan bisnis yang dikembangkan Eurasian Business Union (EBU), untuk memudahkan kontak bisnis antar pengusaha di berbagai negara, khususnya yang mencari peluang pasar di Rusia dan negara lain di sekitarnya.
Nampaknya sejak diembargo oleh Barat menyusul konflik Ukraina, Rusia semakin memperkuat kerja sama ekonomi dengan negara lain, terutama Asia, guna mengurangi ketergantungan impor dari Uni Eropa dan Amerika Serikat, serta negara sekutu lainnya.
Peluang
ANTARA News/Risbiani Fardaniah
Lalu bagaimana sebenarnya peluang pasar di Rusia, sehingga ada keinginan untuk membuat gerai permanen?
Sejak sanksi embargo oleh Barat tahun 2014, Rusia langsung membalas dengan embargo impor produk pangan, termasuk pertanian dari negara-negara yang menerapkan sanksi ke Rusia terkait konflik dengan Ukraina.
Sejak itu Rusia berusaha memenuhi kebutuhan produk pangan dan pertanian dari negara lain, terutama Asia yang memiliki produk pertanian yang beragam.
Berdasarkan data tahun 2014, dari total impor Rusia mencapai 286,7 miliar dolar AS sekitar 13,9 persen merupakan produk pangan, pertanian, bahan baku.
Dengan demikian pada sekitar tiga tahun lalu saja impor pangan Rusia mencapai sekitar 39,85 miliar dolar AS. Sebuah peluang pasar yang besar bagi produk pangan negara lain yang tidak terkait konflik Ukraina.
Meski secara pertumbuhan ekonomi Rusia mengalami penurunan sejak 2012 dari 3,5 persen menjadi minus 0,2 persen tahun 2016, namun dengan pendapatan per kapita yang tinggi mencapai 24.873 dolar AS tahun lalu, masyarakat negeri itu memiliki daya beli yang besar.
Tidak terlihat ada krisis di negeri itu. Pasar dan pusat perbelanjaan lainnya masih terlihat ramai. Bahkan di pasar segar seperti di Danilovsky, pengunjung sulit mendapat tempat untuk menikmati kudapan.
"Di negeri ini seakan tidak pernah ada krisis, pasar dan pusat perbelanjaan tetap ramai. Hanya yang terasa lebih mahal adalah sayur dan buah," kata Atase Perdagangan Heryono Hadi Prasetyo.
(Baca: Kejar ekspor buah ke negeri beruang merah (2))
Oleh Risbiani Fardaniah
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017