Jakarta (ANTARA News) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menganalogikan PT Freeport Indonesia seperti seorang penyewa rumah yang seharusnya tunduk kepada pemerintah Indonesia selaku pemilik rumah.
Luhut saat membuka seminar pariwisata bertajuk "Investasi Guna Mendorong Pertumbuhan Pariwisata Pulau Sumbawa" di Jakarta, Kamis, mengatakan jika Freeport ingin tetap tinggal di Indonesia, maka seharusnya ikut ketentuan Indonesia sebagaimana aturan sewa menyewa rumah.
"Bagaimana dengan Freeport? Kita analogikan ini rumah kita, kita sewakan dan sewanya selesai 2021. Freeport bilang Kok saya sudah jatuh cinta. Lalu dia bilang mau. Karena saya yang punya, saya punya syarat kalau dia mau. Bukan kau yang atur. Ini terbalik, orang sana yang punya syarat," katanya.
Luhut mengaku saat ini pemerintah dan pihak perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu terus melakukan negosiasi secara baik-baik.
"Sekarang jalan. Enggak alot," terangnya.
Mantan Menko Polhukam itu menegaskan pemerintah Indonesia tidak bisa diatur oleh Freeport terkait kontrak pertambangan yang ada.
Baca juga: (Kasus Freeport adalah momentum reformasi fiskal)
Oleh karena itu, pemerintah tegas menginginkan agar Freeport menuruti permintaan dan aturan yang telah ditetapkan seperti mengubah status kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), divestasi saham 51 persen serta mendorong pembangunan smelter.
"Ya harus nurut. Kalau enggak nurut terus saja ekspor tapi 2021 nanti selesai," tegasnya.
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, memperpanjang pelaksanaan ekspor konsentrat dengan sejumlah syarat, yakni pemegang KK harus beralih operasi menjadi perusahaan IUP (izin usaha pertambangan) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) serta membuat pernyataan kesediaan membangun "smelter" dalam jangka waktu 5 tahun. Syarat lain adalah kewajiban divestasi hingga 51 persen.
Pemerintah menyodorkan perubahan status PT FI dari sebelumnya kontrak karya (KK) menjadi IUPK agar bisa tetap melanjutkan operasi di Indonesia.
Sementara itu, Freeport bersikeras tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam KK 1991.
Lantaran tidak ingin beralih status menjadi IUPK dan bersikukuh mempertahankan status KK, Freeport hingga saat ini menghentikan aktivitas produksi sehingga menyebabkan relatif banyak karyawan yang dirumahkan dan diberhentikan.
Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017