Jakarta (ANTARA News) - Komisi Perlindungan Anak Indonesia meminta Facebook sebagai penyedia jasa ikut bertanggung jawab atas keberadaan grup Lolly Candy.

Grup berisi konten berbau pornografi dan pelecehan seksual pada anak itu belum lama ini mencuat setelah dilaporkan oleh masyarakat ke Polda Metro Jaya karena diduga menjadi sarana informasi bagi para pedofil.

Ketua KPAI Asrorun Niam pada Selasa di Jakarta mengatakan, sebagai rumah dari grup Lolly Candy, Facebook tak bisa begitu saja lepas tangan tetapi harus memastikan untuk apa dan siapa saja pengguna layanannya.

"Harus ada patroli internal untuk memastikan di dalamnya terbebas dari hal-hal yang bertentangan dengan hukum," kata Niam dalam konferensi pers yang digelar di Kantor KPAI.

Jika konten negatif ini tetap ada dan terus berulang, tak menutup kemungkinan ada pembiaran dari layanan sosial media itu.

"Itu ada konsekuensi hukum (kalau ada pembiaran). Dalam waktu dekat akan ada pemanggilan secara khusus terhadap Facebook untuk berdiskusi, dalam rangka menjalankan perlindungan anak," kata dia.

Apalagi beredarnya konten negatif lewat media sosial seperti Facebook bukan kali ini saja terjadi.

Karena belum lama ini ada juga perdagangan anak untuk prostitusi yang dilakukan lewat sosial media.

Niam memastikan, pemanggilan yang dilakukan KPAI bertujuan agar hal-hal seperti ini tak terus berulang.

"Harus ada kesadaran bersama. Kami undang Facebook dan penyedia konten sejenis untuk membangun kesadaran kolektif. Enggak bisa Facebook, atau Twitter menyediakan kemudian lepas tanggung jawab," kata dia.

Dia juga meminta penegak hukum menggunakan instrumen hukum yang sudah ada termasuk melaksanakan komitmen Presiden Jokowi yang menjadikan kejahatan anak sebagai kejahatan luar biasa dengan adanya Perpu yang diundangkan melalui UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

"Salah satunya lewat kebiri dan hukuman mati yang sudah diatur dalam instrumen itu untuk menjerakan dan upaya perlindungan anak," kata dia.

KPAI juga memuji masyarakat yang melaporkan kasus ini dan ditangani dengan baik oleh aparat.

Dia juga terus mendorong agar kesadaran seperti ini terus dipupuk untuk mencegah kejahatan berbasis siber.

"Pihak terkait juga hendaknya melakukan proses rehabilitasi jangka pendek. Bahwa 7.000 sekian yang disebut Polda Metro Jaya harus diidentifikasi, baik korban yang sudah jadi korban tindak kejahatannya atau korban yang tidak tahu fotonya telah diambil diam-diam. Ini dilakukan agar ada prioritas penanganan," ucapnya.

Kejahatan luar biasa

Sementara itu Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika, Nur Izza mengatakan kejahatan pada anak terlebih lewat kontek pornografi di sosial media sudah termasuk kejahatan luar biasa sebagaimana kesamaan pandangan yang telah disepakati di Perserikatan Bangsa Bangsa.

Oleh karena itu, sudah seharusnya konten itu ditutup.

Pihaknya juga melakukan eksplorasi dan bekerja sama dengan Kepolisian untuk berbagi informasi yang dibutuhkan dalam proses penyidikan.

Kominfo pun akan membangun komunikasi dengan penyedia jasa baik lokal maupun global.

"Kami intensif komunikasi dengan penyedia konten. Kalau ada yang negatif, dia respons dan selama ini berjalan baik. Sekarang sudah ada 774 ribu lebih situs yang ditutup dan per 2016 ada 3.200 akun Twitter,1.300 akun Facebook dan Instagram, serta 1.100 video Youtube yang juga diblok," kata Nur.

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017