Ngobrol-ngobrol itu dipandu Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, dan film yang ditonton adalah Rudy, film terbaru Habibie yang berkisah perjalanan studinya di Universitas Teknik Aachen, Jerman Barat (saat itu).
Habibie muda saat itu juga aktivis di lingkungan pelajar Indonesia dan pernah menjadi ketua PPI Aachen.
"Dengan temuan-temuan penelitian saya, berbagai tawaran menggiurkan diberikan kepada saya, termasuk untuk berpindah kewarganegaraan, namun saya selalu mengatakan tidak," ujar Habibie.
Pernyataan tersebut menggambarkan betapa konsisten dan tingginya dedikasi prof Habibie kepada negara dan bangsa Indonesia. Prestasi dan ide-ide cemerlang dalam pengembangan teknologi pesawat terbang dan perkapalan, pemerintah Jerman memberikan fasilitas visa, ijin tinggal dan ijin bekerja seumur hidup kepada Pak Habibie.
Dipicu film Rudy beberapa mahasiswa pun tergelitik mengajukan pertanyaan tentang cerita film tersebut. Salah satu tentang kisah hubungan dengan beberapa gadis cantik yang menaruh perhatian kepada Habibie muda.
Kebenaran cerita tersebut pun diiyakan Wardiman Djojonegoro, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, teman sekamar Pak Habibie waktu kuliah di Universitas Teknik Aachen, yang juga sedang berada di Belanda dan hadir pada pertemuan itu.
Tidak terlewatkan, Pak Habibie pun selalu menyinggung kekekalan hubungannya dengan Ainun, belahan jiwanya, yang tidak pernah terpisahkan meski oleh kematian. Kisah Ainun ini sedang disiapkan dalam bentuk opera, yang rencananya akan ditampilkan di Belanda tahun depan.
Nama Habibie terlanjur lekat dengan pengembangan pesawat terbang di Indonesia padahal masih ada beberapa nama besar lain, di antaranya Nurtanio dan Wiweko.
Tentang ini, Habibie berkata, "Akan tetapi kita ini tidak memiliki budaya estafet, sehingga hal-hal yang telah dicapai oleh generasi sebelumnya tidak dilanjutkan generasi selanjutnya." Yang dia katakan adalah bagaimana kepemimpinan dan kelanggengan pengembangan industri ini seharusnya dilakukan di Indonesia.
Pengembangan industri penerbangan dan industri strategis lain di Tanah Air bisa dibilang mencapai titik paling rendah dan paling memilukan sesaat setelah skema pinjaman 48 miliar dolar Amerika Serikat dikabulkan IMF dengan sejumlah syarat sangat menyudutkan Indonesia pada 1998.
Oleh Zeynita Gibbons
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016