Jakarta (ANTARA News) - Ketika Kemal Ataturk mendirikan Republik Turki pada 1923, wajah Turki berubah menjadi amat sekuler. Selama 30 tahun kekuasaan Ataturk, kemalisme --nasionalisme sekuler Kemal Ataturk-- sepertinya akan langgeng.

Namun sekularisme yang rigid ternyata telah mengibiri rakyat, terutama dalam beragama. Selain itu, ketika kaum elit dididik oleh cara hidup Barat yang modern, di desa-desa dan kota-kota kecil, rakyat sengsara dan terpinggirkan.

Keadaan itu memotivasi partai politik untuk menunjukkan simpati kepada peran agama di Turki. Ironisnya setelah kudeta 1971, militer juga mendorong peran agama dalam menghalau komunisme.

Akibatnya, mengutip Politico.com, pelan tetapi pasti agama mendapatkan kembali tempatnya dalam politik Turki dan tonggak awal Islam politik dipancangkan pada 1991 ketika Partai Refah yang didirikan Necmetin Erbakan, melenggang ke parlemen setelah Pemilu tahun itu.

Refah kian besar usai Erbakan menjadi perdana menteri pada 1996. Setahun kemudian Erbakan digulingkan kudeta militer karena dianggap merongrong sekularisme. Para aktivis muda partai ini, antara lain Recep Tayyip Erdogan, memprotes kudeta militer itu.

Pada akhir 1997 sebelum Partai Refah dinyatakan terlarang pada 1998, Erdogan yang juga wali kota Istanbul yang sukses, ditangkap karena mendeklamasikan sajak yang menantang sekulerisme. "Mesjid adalah barak kami, kubah adalah helm kami, menara mesjid adalah bayonet kami, dan iman adalah serdadu kami."

Dia dipenjarakan dari Maret sampai Juli 1999. Selesai dibui, Erdogan tak jera berpolitik, namun belajar dari kesalahan Partai Refah.

Pada 2001, dia dan Abdullah Gul mendirikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang membawa wajah teologis lebih liberal dan toleran sehingga memupus kecurigaan kaum sekuler.

Tahun itu, Turki tengah menghadapi kesulitan ekonomi dan korupsi yang akut. Kemunculan AKP membuat rakyat yang jenuh diperintah rezim sekuler nan korup, memiliki pilihan. Pada Pemilu 2002, mayoritas rakyat pun memilih AKP.

AKP menang, namun lembaga-lembaga penting seperti peradilan, birokrasi, polisi, militer dan pendidikan, tetap didominasi kemalisme.


AKP, Erdogan dan Gulenisme

Erdogan berusaha mengikis kemalisme, namun tak bisa sendirian. Diajaklah sebuah gerakan sosial Islam apolitik yang sudah lama mengakar di Turki. Nama gerakan itu adalah Hizmet yang sering pula disebut Gerakan Gulen yang diambil dari nama pendirinya, ulama Fethullah Gulen.

Gulen sendiri mengasingkan diri di Pennsylvania, Amerika Serikat, sejak 1999, setelah dituduh berusaha menggulingkan rezim sekuler Turki.

Gerakan Gulen yang transnasional ini memiliki jutaan pengikut di dalam dan di luar Turki. Sejak akhir 1980-an, gerakan ini menjadi pemain berpengaruh dalam politik Turki setelah kader-kadernya mengisi sistem birokrasi, peradilan, pendidikan, parlemen dan ekonomi.

AKP pun bersinergi dengan Gerakan Gulen untuk menyingkirkan para kemalis, terutama di tubuh militer dan peradilan, dengan menempatkan para aktivis Gerakan Gulen pada posisi-posisi yang selama ini diisi para kemalis.

Kemalisme pelan-pelan kehilangan pengaruh, digantikan gulenisme. Pengaruh gulenisme semakin kuat sampai manuver militer pun tak bisa mencegah Abdullah Gul yang dianggap militer memiliki kaitan dengan partai fundamentalis, menjadi Presiden Turki pada 2007.

Namun bulan madu AKP-Erdogan dan Gerakan Gulen tak berlangsung lama. Mereka menjadi berseberangan karena berebut pengaruh dalam kekuasaan, selain karena garis ideologi yang berbeda.

Mengutip Washington Post, Gerakan Gulen meletakkan basis ideologi Islamnya pada etnokultural Keturkian, sedangkan AKP menempatkan identitas muslim di atas identitas etnis.

Gulenisme menganjurkan sintesis Turki-Islam bahwa Islam Turki itu khas. Menurut mereka, Islam masuk ke Turki bukan dibawa orang Arab, melainkan oleh orang Asia Tengah melalui sufisme yang mencinta perdamaian. Akibatnya, Islam Turki lebih moderat, toleran dan lebih terbuka dalam interpretasi ketimbang Islam di Arab dan Iran yang rentan radikalisasi.

Sebaliknya Islam politik versi AKP merujuk kepada sejarah Islam dan Turki Usmaniyah (Ottoman) sehingga mengecilkan peran etnis karena bagi mereka tak ada hirarki dalam Islam. AKP berprespektif Islam universalis dengan menempatkan Turki sebagai pemimpin dunia Islam Sunni yang berbeda dari Gerakan Gulen yang lebih tertarik mengikatkan identitas ke-Turkian di Asia Tengah, selain mempromosikan dialog antaragama.

Gulenisme cenderung toleran dengan minoritas Yahudi dan Kristen, sebaliknya AKP lebih tertarik membangun solidaritas global Islam Sunni. Perbedaan pandangan ini membuat mereka kerap berseberangan pada banyak peristiwa, termasuk dalam Flotila Gaza 2010 yang ditentang gulenis.


Puncak perpecahan

Puncak perpecahan terjadi pada 2013 ketika para jaksa menyelidiki pemerintahan Erdogan atas tuduhan korupsi. Erdogan menyerang balik sistem peradilan dengan mencopot dan memutasi orang-orang gulenis dari sistem peradilan.

Sejak itu, AKP dan Erdogan berusaha mengikis pengaruh gulenisme sampai demonstrasi damai di Taman Gezi pada 2013 pun dilawan dengan kekerasan. Erdogan juga membungkam media massa dan wartawan.

Belakangan, terutama setelah ISIS mulai menjadi ancaman langsung untuk Turki, AKP berusaha menarik simpati gulenis dengan mengambil posisi frontal terhadap Kurdi dan ISIS di Suriah.

AKP dan Erdogan semula mengambil jalan pragmatis menghadapi Kurdi dan terlihat menahan diri untuk tidak mengintervensi Suriah, termasuk dalam melawan ISIS.

Namun di samping karena demi membatasi manuver politik oposisi Kurdi di parlemen Turki, Erdogan menghadapi tekanan besar dari anasir gulenis dalam militer yang memilih perang melawan Kurdi, apalagi pada perang melawan ISIS, kelompok Kurdi (baik di Suriah maupun Irak) menjadi lawan terkuat ISIS dan beroleh bantuan besar Barat.

Posisi strategis Kurdi Suriah dan Irak ini mengimbas ke warga Kurdi di Turki tenggara yang berbatasan dengan Irak dan Suriah. Unsur gulenis dalam militer dan elite politik Turki gelisah melihat keadaan ini.

Mereka makin gelisah setelah teror ISIS meluber juga ke dalam negeri Turki, padahal gulenis jauh-jauh hari menginginkan Turki proaktif menangkal ISIS. Di tengah itu, muncul dugaan kroni Erdogan membeli minyak selundupan ISIS dari kilang-kilang minyak Irak dan Suriah yang dikuasai kelompok militan itu.

Keadaan makin sulit dikendalikan dan Erdogan kian sulit meredam suara riuh faksi gulenis, sekalipun dengan menormalisasi hubungan dengan Israel, Rusia dan lalu Presiden Suriah Bashar al-Assad yang diharapkannya bisa menjinakkan rongrongan kaum gulenis yang menghendaki Turki yang inward looking.

Sementara itu, strategi Erdogan di Suriah dan menghadapi Kurdi dianggap gagal karena teror kini menyerang kota-kota Turki. Ketidakpuasan muncul dari unsur-unsur militer, terutama dari para komandan lapangan di medan tempur di depan Suriah yang sebagian menjadi operator kudeta 15 Juli.

Erdogan terancam oleh ketidakpuasan ini, apalagi gulenis sudah jauh masuk ke sendi-sendi pemerintahan termasuk militer sehingga rezim Erdogan sering menyebut ada "negara di dalam negara" atau ada "upaya menggulingkan pemerintah dari dalam".


Kudeta gagal

Menurut BBC, sebelum kudeta gagal 15 Juli 2016, Erdogan sebenarnya berencana memutasi para perwira gulenis pada 16 Juli. Rencana mutasi itu terendus sehingga kudeta yang kabarnya sudah direncanakan matang itu pun dimajukan ke tanggal 15 Juli. Akibatnya kudeta ini menjadi prematur dan gagal mendapat dukungan mayoritas pejabat teras militer.

Analisis lainnya menyebutkan Erdogan sudah mengetahui rencana kudeta ini dan sengaja membiarkannya terjadi karena setelah itu dia menjadi memiliki alasan untuk membersihkan militer, polisi dan peradilan, dari anasir-anasir gulenis. Media-media Barat, termasuk jurnal Foreign Policy, mencurigai plot ini.

Erdogan selama ini memang luas dianggap ingin mengonsolidasikan kekuasaannya pada kelompok mereka dengan membungkam lawan-lawan politiknya. Inilah yang dikhawatirkan Gerakan Gulen yang untuk kesekian kalinya menjadi kambing hitam kekisruhan seperti dulu dilakukan rezim sekuler sebelum Erdogan.

Analisis lain dari gerakan Kurdi menyebutkan, faksi kemalis dalam militer Turki mengetahui rencana kudeta itu dan tahu akan gagal. Faksi kemalis membiarkan kudeta terjadi dengan harapan Erdogan akan membersihkan anasir-anasir gulenis dalam militer Turki setelah kudeta itu gagal. Dengan cara begitu, faksi kemalis bisa lagi mengendalikan militer Turki dan Erdogan akan tergantung kepada faksi ini.

Lain dari itu, Erdogan merasa ada tangan asing (Amerika Serikat) di balik kudeta itu mengingat Fethullah Gulen yang dituduhnya otak kudeta memang berada di AS. Sudah begitu, seorang jenderal operator kudeta adalah panglima pangkalan dari mana pesawat-pesawat tempur AS menyerang ISIS di Suriah.

Mungkin AS memang berpihak, kendati Presiden Barack Obama menjadi pemimpin pertama yang mengecam kudeta gagal di Turki itu. Mungkin karena AS merasa Islam kultural yang dipromosikan Gulen lebih nyaman ketimbang Islam universalis AKP yang terlihat agresif.

Yang jelas, Erdogan kini ditantang merekonsiliasikan bangsanya. Saat ini dia cenderung melakukan pembersihan di mana sampai awal pekan ini saja sekitar 6.000 personel militer dan hampir 3.000 hakim ditangkap. Jika pembersihan terus terjadi tanpa menjawab kritik penentangnya, Erdogan bisa membuat situasi politik di Turki semakin runyam.

Namun, apa pun itu, demokrasi memang harus menang dari pemaksaan kehendak lewat kudeta.

Oleh Jafar M Sidik
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016