Jakarta (ANTARA News) - Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan memperketat pengoperasian pesawat tanpa awak atau "drone" bagi masyarakat umum guna mengantisipasi hal-hal yang membahayakan keselamatan penerbangan sipil.

Direktur Navigasi Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Novie Rianto saat ditemui di Jakarta, Selasa mengatakan pengetatan pengoperasian "drone" tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Nomor 47 tahun 2016 Tentang Perubahan atas PM 180 tahun 2015 Tentang Pengendalian Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia.

Novie menjelaskan dalam perubahan peraturan tersebut, pihak Kemenhub atau TNI diberikan kewenangan untuk menindak lanjut "drone" yang sedang diterbangkan apabila dinilai membahayakan penerbangan dengan cara dijatuhkan atau ditembak dengan alat khusus, seperti "drone-jamming".

"Melihat ancamannya ke penerbangan sipil, kita mengamandemen peraturan ini, sehingga kita bisa proaktif untuk mengambil langkah, seperti menjatuhkan dan sebagainya," katanya.

Pasalnya, dia menyebutkan salah satu kejadian, yakni ditemukan "drone" tengah memotret pesawat di mana ketinggiannya jauh melebihi ketinggian pesawat tersebut di Yogyakarta.

Ia mengatakan dalam peraturan yang sebelumnya, yakni PM 180 Tahun 2015, Kemenhub hanya memiliki kewenangan preventif, seperti melarang dan bukan kewenangan represif, contohnya menindak.

Novie mengatakan peraturan tersebut telah diundangkan pada 3 Mei 2016 sejak ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada 21 April 2016.

Dalam mengoperasikan "drone", ia menjelaskan, operator harus memiliki izin yang permohonannya harus berisi informasi lengkap dari "drone" itu sendiri, seperti spesifikasi teknis "airborne and ground system", prosedur pengoperasian, prosedur keadaan darurat, kompetensi dan pengalaman pilot (operator) dan lainnya.

Kemenhub dapat menjatuhkan sanksi apabila "drone" tersebut dioperasikan di Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP), contohnya bandara, kemudian di "controlled airspace" dan "uncontrolled airspace" pada ketinggian lebih dari 500 kaki atau 150 meter di atas permukaan tanah (AGL).

Sementara itu, TNI bisa memberikan sanksi apabila "drone" dioperasikan di kawasan udara terlarang (prohibited area) dan kawasan udara terbatas (restricted area).

"Prohibited area itu contohnya Istana Kepresidenan, kilang minyak atau pangkalan udara TNI," katanya.

Novie menuturkan sanksi yang dikenakan, yaitu sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, pencabutan izin dan denda administratif.

Sementara itu, denda administratif yang dimaksud adalah membayar antara 1.001 hingga 3.000 "penalty unit", di mana satu unit penalti senilai Rp100.000.

"Kami akan menggelar sosialisasi terkait peraturan ini agar masyarakat paham dan berhati-hati dalam pengoperasian pesawat tanpa awak," katanya.

Dia menambahkan di setiap bandara-bandara besar juga akan dibekali alat khusus penangkap "drone".

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016