Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Tetap bidang linguistik Universitas Mataram, Prof Dr Mahsun MS, mengatakan pemerintah seharusnya membuat kebijakan bagi pekerja asing untuk wajib menggunakan bahasa Indonesia menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).


Ia menyayangkan kebijakan baru pemerintah yang menghapus peraturan pekerja asing di Tanah Air harus mampu berbahasa Indonesia lewat Permenaker Nomor 16/2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, revisi dari Permenaker Nomor 12/2013.

"Kesiapan menghadai MEA dengan syarat pekerja asing memakai bahasa Indonesia sebagai cara pemerintah melindungi warga dari serbuan negara asing. Tetapi yang terjadi justru syarat itu direvisi. Ini adalah kecelakaan sejarah bangsa ini," kata Mahsun, pada Gelar Wicara Internasionalisasi Bahasa Indonesia, di Universitas Negeri Jakarta, Kamis.


Tidak usah jauh-jauh, bahasa asing sering diserap mentah-mentah dalam wacana lisan dan tulis bahasa Indonesia, bahkan untuk hal-hal yang sifatnya resmi. Tengok saja nama-nama jabatan banyak BUMN di Tanah Air, yang secara langsung memakai bahasa Inggris tanpa ada terjemahan Indonesianya.


Belum lagi nama-nama gedung, pesan-pesan di media luar ruang, nama-nama program acara di media televisi, dan lain sebagainya.


Bagi banyak pegawai perusahaan Jepang, kartu nama mereka dicetak bolak-balik, satu sisi memakai bahasa asing dalam aksara Latin dan di sisi sebaliknya memakai bahasa dan aksara Jepang.

Mahsun membandingkan dengan Jepang yang menerjemahkan semua ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Jepang sebagai bahasa yang dipahami masyarakatnya sehingga bisa menumbuhkan kepercayaan diri dengan bahasanya sendiri.

"Tenaga kerja medis dari asing misalnya sulit bekerja di Jepang karena standar bahasa mereka yang tinggi. Mereka harus bisa bahasa Jepang untuk bekerja di sana. Ini yang harusnya diperhatikan pemerintah, kalau orang asing masuk Indonesia harus pakai bahasa Indonesia," jelas Mahsun.

Menurut Mahsun, apabila pemerintah menerapkan syarat mampu berbahasa Indonesia bagi pekerja asing, maka hal tersebut dapat memperkuat identitas bangsa Indonesia.

"Bahasa Indonesia bukan sekedar sarana komunikasi melainkan jati diri bangsa," ujarnya.

Ia menambahkan syarat tersebut juga berguna untuk menyaring laju tenaga kerja asing yang akan masuk ke Indonesia.

"Saya lihat pemerintah lengah. Ini kecelakaan, sebenarnya jangan sampai persyaratan seperti itu dihilangkan. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton," katanya.


Kita harus membalikkan aturan seperti sebelumnya karena kalau dibiarkan tenaga kerja kita tersingkirkan sementara Indonesia akan banjir tenaga asing tanpa seleksi yang baik. Padahal bahasa itu salah satu cara untuk mengerem itu. Dengan kata lain kemampuan bahasa Indonesia ini perlindungan kita terhadap tenaga kerja kita," tutur Mahsun.

Sebelum aturan tersebut direvisi, lanjut Mahsun, sudah banyak orang asing yang berminat atau sedang belajar bahasa Indonesia.

"Tadinya banyak yang sudah belajar bahasa Indonesia. Dengan revisi itu melunturkan semangat yang mau belajar bahasa Indonesia," ungkapnya.

Selain itu, Mahsun juga berharap agar pemerintah memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kerjasama di ASEAN seperti yang terjadi di Uni Eropa dimana mereka menggunakan bahasa masing-masing negara sebagai bahasa pengantar kerja sama.

"Kerjasam ASEAN di Singapura beberapa waktu lalu justru menyepakati bahasa kerja sama ASEAN dengan bahasa Inggris," katanya.


" Kenapa tidak belajar dari Uni Eropa? Bahkan Austria percaya diri memperjuangkan bahasa Jerman Austria yang hanya beda 23 kosa kata dengan bahasa Jerman agar diakui. Ini harus didorong agar dilakukan perubahan," katanya.

Pewarta: Monalisa
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015