Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy mewacanakan isu MPR sebagai lembaga yang kembali memiliki kewenangan yang tertinggi seperti sebelum masa reformasi sebagai bentuk untuk memutakhirkan lembaga MPR tersebut.
"Isu yang penting saat ini adalah meng-up grade (memutakhirkan) lembaga MPR sesuai dengan kewenangannya yang tinggi dibanding lembaga negara lainnya," kata Lukman Edy dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, merupakan hal yang aneh bila di sebuah negara tanpa ada lembaga tertinggi.
Sebagaimana diketahui pada saat ini di Republik Indonesia semua lembaga negara berada dalam kedudukan sejajar.
"Lalu siapa yang melakukan evaluasi lembaga-lembaga negara?" katanya
Ia mengemukakan beberapa hal yang menjadi contoh yang memperlihatkan MPR layak untuk dimutakhirkan antara lain isu tentang GBHN.
"Karena sudah tidak ada garis besar atau pedoman dasar dalam pembangunan," kata Lukman Edy dan menambahkan, saat ini tidak ada kesinambungan pembangunan antara presiden yang satu dengan berikutnya. "Ini sedang dalam pembahasan agar ada harmonisasi sustainable pembangunan," katanya.
Selain itu, ujar Lukman, isu lainnya adalah keinginan agar Ketetapan MPR (Tap MPR) mengikat keluar dan bersifat mengatur, serta isu tentang sidang tahunan MPR yang terkesan hanya formalitas dan tidak efektif karena hanya berlangsung sekitar satu jam.
Sebelumnya, Wakil Ketua Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI Rambe Kamaruzzaman mengatakan penguatan lembaga Mahkamah Agung (MA) untuk mengadakan forum priviligeatum atau peradilan bagi para penyelenggara negara yang terjerat kasus hukum masih perlu dikaji.
"Sebenarnya isu ini sudah berkembang di masyarakat bahwa pejabat negara yang terangkut kasus hukum diproses melalui forum priviligeatum di Mahkamah Agung. Namun hal ini masih perlu dikaji," kata Rambe setelah Seminar Nasional tentang Penataan Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memperkuat Pelaksanaan Kekuasaan, Kehakiman dan Prinsip Negara Hukum di Medan, Sabtu (22/8).
Rambe melanjutkan pengkajian akan terus dilakukan karena adanya berbagai perbedaan pendapat di masyarakat terkait forum priviligeatum.
Beberapa perbedaan pendapat itu seperti terkait apakah perlu ada unsur kegagalan pemerintah (government failure) di dalamnya. Setelah itu apakah nantinya peradilan untuk penyelenggara negara akan diadakan dalam satu kesatuan, artinya tidak perlu ada banding, kasasi ataupun peninjauan kembali.
Selain itu, wacana juga mengemuka tentang tujuan perlunya peradilan khusus untuk pejabat negara. Pihak yanh setuju mengenai hal ini beralasan bahwa UUD 1945 sudah menyatakan bahwa setiap warga negara sama kedudukannya di mata hukum.
Menurut MPR, perdebatan-perdebatan semacam ini diperlukan agar nantinya bisa mencapai kesimpulan yang dapat dijadikan untuk acuan perubahan fungsi MA ke depan.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015