Bila kita melihat bahwademokrasi di Barat adalah demokrasi borjuis saja, itu berarti penglihatan kitasama dengan penglihatan Bung Karno. Dia sudah menulis tentang itu dalam sebuahartikel di Fikiran Ra’jat, 1932.
Demokrasi borjuis yangdimaksud Bung Karno dalam artikelnya adalah demokrasi yang memberikan “hakmemerintah” kepada rakyat—melalui Parlemen hasil Pemilu—tetapi penggunaan hakmemerintah itu sebetulnya diarahkan, dikontrol dan dikuasai oleh para borjuispemegang modal. Dan hasilnya tetap saja rakyat papa-melarat. Yang menikmatidemokrasi itu hanyalah para borjuis melulu.
Dalam kehidupankeseharian bangsa kita sekarang ini, kapital-borjuisme itu begitu terang didepan mata, berlaku dengan segala kekuatan dan kekuasaannya...hampir di segalabidang! Kini 1 persen—atau sekitar 2,5 juta—dari 250 juta jiwa menguasai 43persen ekonomi seluruh Indonesia. Sementara lebih dari 60 persen uang yang adadi negara ini beredarnya hanya di ibukota Jakarta yang berpenduduk 4 persen doang daripopulasi nasional!
Jelas sudah, anak-anakbangsa yang hidup di daerahlah—yang tentu saja mayoritas jumlahnya—yang palingmerasakan kemiskinan dan ketertinggalan akibat kapitalisme borjuis itu.Andaikata Bung Karno masih hidup, mungkin beliau akan berpidato sambilmarah-marah karena kecewa negara yang dia dkk dirikan justru berkembang tidaksesuai dengan tujuan pendiriannya.
Salah satu contohkapital-borjuisme yang menonjol dan mewarnai kehidupan kita sehari-hari adalahpenguasaan para pemodal besar terhadap industri penyiaran televisi. Industriini menjadi sangat penting, bukan hanya sekadar soal siapa yang berolehkeuntungan finansial terbanyak, tetapi juga soal siapa yang menguasai opinipublik, bahkan sampai pada persoalan siapa yang membentuk karakter anak-anakbangsa ini!
Sampai saat ini, hanyabeberapa kelompok saja yang mengambil pangsa terbesar penyiaran televisi.Sebutlah misalnya Bakrie Group yang memiliki dua stasiun TV sekaligus (TV-Onedan ANTV), SCTV-Group memiliki SCTV dan Indosiar, dan yang terbesar adalah MNC Groupyang memiliki tiga stasiun analog (MNC TV, RCTI dan Global TV) sekaligus denganIndovision (Stasiun TV Berbayar—Digital). Juga ada raksasa Lippo Group yangmasuk ke bisnis ini melalui TV-Berita Satu, ada pula NET TV, dan lain-lain.Nyaris semua stasiun TV yang disebut itu berkedudukan di Jakarta.
Sementara itu, didaerah-daerah ada lebih dari 300 TV Lokal yang berusaha untuk hidup—mengaisrejeki dari sisa-sisa “kue iklan” yang hampir dihabiskan TV ibukota serta“mengemis” untuk mendapatkan iklan lokalan. Beberapa di antara mereka bisabertahan hidup, tetapi umumnya tumbang atau terlibas karena kalah bersaingdengan TV ibukota.
Sebetulnya kematianTV-TV Lokal itu tidak perlu terjadi, sebab Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002Tentang Penyiaran serta Peraturan Pemerintah turunannya memiliki semangat untukmenjadikan TV-TV Lokal sebagai partner atau jaringan dari TV-TV ibukota yangingin melebarkan sayapnya ke daerah.
Tetapi apa yang terjadi?Konglomerat-konglomerat pemilik TV ibukota justru mengakuisisi TV-TVLokal—menjadi milik mereka. Bahkan mereka mendirikan stasiun TV-Lokal sendiridi daerah yang ingin mereka masuki. Ya, itulah “TV-Lokal-Padahal-Ibukota”;dibuat di daerah, tetapi tetap milik dari para “penguasa” TV Jakarta.Celakanya, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tidak dapat mengeremkonglomerasi TV itu. Semangatnya untuk pemerataan memang ada, sayangnya tidaktermaktub dengan jelas dalam pasal-pasal di Undang-Undang dan PP. Dalam kondisiseperti itu, kita tentu sudah tahu siapa yang paling diuntungkan. Ya,segelintir pemilik TV Jakarta itulah.
KARAKTER BANGSA
Para ahli ilmukomunikasi dan media studies tentu akan bersepakat biladikatakan bahwa apa yang sedang menjadi karakter anak-anak bangsa sekarang ini,sedikit-banyak, dipengaruhi oleh siaran televisi dalam 20 tahun terakhir.Bangsa yang makin sulit menumbuhkan saling-percaya, bangsa yang begitu mudahmemberi tudingan orang lain, bangsa yang suka angkat bicara tentang sesuatuyang dia tidak tahu persis, bangsa yang skeptis, apatis, cenderung pesimisdengan masa depan, bangsa yang kehilangan roh “gotong-royong”nya. Semua itutidak lepas dari “fasilitasi” media sebagai “the fourth estate” bersamaeksekutif, legislatif dan yudikatif—sebagian bahkan punya pendapat ekstrimbahwa sesungguhnya media adalah “the first estate” yang berkuasamenentukan mana baik mana buruk, mana salah mana benar.
Peraturan tentangpenyiaran yang ada sekarang tak mampu membendung liberalisasi informasi melaluimedia, dlm konteks ini; TV. Stasiun-stasiun TV yang ada di Indonesia cenderunglebih bebas dan kurang terkontrol dalam segi konten siaran. Ditambah lagidengan diberinya kebebasan kepada lembaga-lembaga penyiaran berlangganan untukmerelay siaran-siaran TV luar negeri—yang sering tanpa sensor sama sekali. KPIyang oleh UU diharapkan dapat menjadi regulator penyiaran justru tidakdiberikan kewenangan itu.
Keadaan itu—hegemonikepemilikan TV oleh segelintir orang dan begitu bebasnya segala jenis kontenbisa tersiar dan masuk ke dalam rumah-rumah kita serta mengarahkan opini kitasemua—memberikan resiko besar kepada bangsa ini. Pendek, segelintir pemilikTV-TV raksasa itulah yang akan menentukan hitam-putih negara dan bangsa ini,jadinya.
KUASA NEGARA
Pasal 33 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 menyebutkan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negaradan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Ayat (3)menyatakan "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyadikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnyakemakmuran rakyat.”
Kata “dikuasai” di situditafsirkan oleh sebagian orang bukan sebagai “dimiliki”. Kata “kuasa” dalamUUD ini dimaknai sebagai “hak mengatur dan mengelola”. Jika demikianpemaknaannya, maka frekuensi – yang saat ini penting bagi negara dan menguasaihajat hidup orang banyak – hakikatnya tidak dimiliki oleh negara, hanya menjadimilik perorangan tetapi sekadar dikelola dan diatur oleh negara.
UUD 1945 disusun di masayang sama dengan pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945. Kata “kuasa” jugaterdapat dalam naskah Proklamasi Kemerdekaan RI yaitu pada kalimat “hal-halyang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengancara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Dengan menyandingkankedua naskah tersebut, maka dapatlah kiranya kita memahami apa yang dimaksuddengan “kuasa” oleh para pendiri negara di masa itu.
Jika makna “kekuasaan”pada naskah Proklamasi itu tidak dimaknai sebagai “kepemilikan” dan hanyadimaknai sebagai “hak pengelolaan”, bukankah itu juga bermakna bahwa negara inimasih “dimiliki oleh Jepang” atau “dimiliki Belanda”? Bukankah “pemindahan kekuasaan”pada naskah Proklamasi itu hanya bermakna “pemindahan hak pengelolaan” kepadapemerintah Republik Indonesia?
Tidak begitu. Sungguhtidak begitu. Ketika menuliskan kata “kuasa”, para pendiri negara RepublikIndonesia bermaksud bicara dalam konteks kepemilikan. Dus, dikuasaiberarti dimiliki. Bahwa kemudian sesuatu yang dikuasai oleh negara itudipercayakan kepada suatu lembaga atau perorangan tertentu untuk mengelolanya,itu bersifat delegatif. Negara dapat mendelegasikan pengelolaan kepadapihak/lembaga yang ditunjuk oleh negara.
Prof. Mubyarto merekomendasikanpendelegasian pengelolaan itu kepada daerah maupun lembaga pemerintah yanglebih kecil, jika benar-benar tidak dapat diatur secara terpusat. Penguasaannegara itu hanya khusus pada “cabang produksi yang penting” dan “menguasaihidup orang banyak” dan pengaturannya harus “untuk sebesar-besarnya kemakmuranrakyat”. Dalam beberapa hal, pemahaman Mubyarto itu sejalan dengan Prof. DawamRaharjo yang menekankanpada perlunya membangun struktur dan budaya koperasi untuk membantunegara/pemerintah dalam mengelola “cabang-cabang produksi yang penting danmenguasai hajat hidup orang banyak untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
FREKUENSI TV DAN
HAJAT HIDUP ORANG BANYAK
Perdebatan selanjutnyaadalah pada penilaian terhadap frekuensi—apakah dia termasuk “cabang produksiyang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan harus dipergunakanuntuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sehingga harus dikuasai oleh negara?”.
Dari sudut pandang saya,iya. Segala usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan frekuensi adalah termasuk“cabang produksi yang penting bagi negara”. Dia adalah sumberdaya yangterbatas. Sangat terbatas, malah. Penting bagi negara bukan saja karenadari frekuensi itu bisa diperoleh dana USO—atau yang semacamnya—puluhan triliunper tahun, tetapi juga karena hampir seluruh data dan informasi bagi hampirseluruh rakyat diperoleh dari dan melalui frekuensi.
Usaha/industri yangberkaitan dengan penggunaan frekuensi pastilah “menguasai hajat hidup orangbanyak”, bukan saja karena ada jutaan pekerja yang menggantungkan nasibnya dariindustri-industri itu, tetapi juga karena hampir seluruh rakyat bergantung padaindiustri di bidang ini. Nyaris seluruh penduduk RI yang berusia di atas 17tahun telah memiliki gadget dan 95 persen di antara 250 juta jiwa WNIadalah konsumen media elektronik, terutama televisi. Artinya hampirseluruh rakyat menggunakan frekuensi—yang merupakan sumber daya terbatas itu.Artinya lagi; beliefs, values dan attitudes sebagianbesar rakyat juga turut dipengaruhi oleh terpaan siaran televisi.
Bahwa frekuensi merupakan “kekayaan alamyang terkandung di dalam bumi dan air” itu sudah tidak dibantah lagi, dankarenanya dia harus “dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.Makmur bukan saja secara material, tapi makmur juga secara ruhiyah (sehatekonomi, sehat jasmani, sehat pikiran, sehat jiwa;happy).
KEADILAN FREKUENSIPENYIARAN
Persoalan pentinglainnya yang selama ini selalu disuarakan oleh para akademisi adalahpenganekaragaman kepemilikan stasiun TV (diversity of ownership) dankeanekaragaman isi siaran (diversity of content).
Dalam perspektif Barat,kedua konsep itu cenderung menjadi bertujuan untuk memperbanyak jumlah stasiunTV, memperbanyak jumlah orang yang memiliki stasiun TV, dan memperbanyakkeragaman isi dari stasiun TV. Indonesia tidak mesti mengikuti kedua konsepsiitu secara persis. Sebab, semangat sosial-ekonomi yang tercantum dalamkonstitusi kita bukanlah sekadar memperbanyak orang makmur, tetapi jugamemeratakan kemakmuran itu secara adil dan proporsional. (Keadilan SosialBagi SELURUH Rakyat Indonesia).
Diversity of ownership, bagi kita diIndonesia, hendaknya dimaknai sebagai banyaknya rakyat yang memilikistasiun televisi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dus,bukanlah keragaman kepemilikan padahal para pemiliknya semuanya dari Jakartayang menguasai seluruh wilayah di Indonesia. Sedangkan diversity ofcontent mesti dilekatkan pada ke-bhinneka-an bangsa ini. Nilai-nilailokal di seluruh Indonesia mesti terangkat kembali bukan hanya sekadar untukmenunjukkan keragaman bangsa ini, tetapi justru untuk juga menunjukkan betapakuatnya ke-Tunggal-Ika-an kita di dalam keragaman yang luar biasa itu.
KONDISI AKTUAL
Saat ini frekuensipenyiaran terrestrial di Indonesia masih digunakan untuk penyiaran secaraanalog, yang berarti satu frekuensi menyiarkan satu kanal siaran. Padahal,frekuensi penyiaran satelit di negara ini sudah sejak tahun 90an menggunakanteknologi digital sehingga setiap satu transponder satelit dapat menyiarkanpuluhan kanal siaran TV sekaligus.
Sementara itu, demiberbagai kepentingan efisiensi, efektifitas dan juga kualitas siaran, berbagainegara telah melakukan digitalisasi penyiaran. Sekarang ini sudah 85% wilayahdi dunia telah menerapkan penyiaran digital dan negara-negara itu menegukbegitu banyak digital devident, baik dalam bentuk kualitassiaran yang lebih baik hingga keuntungan finansial yang cukup besar baginegara.
Perkembangan teknologipenyiaran digital yang ada saat ini memungkinkan satu frekuensi televisidigital dapat menyiarkan hingga lebih dari 30 kanal siaran TV dengan kualitas StandardDefinition (SD) atau 12 kanal siaran TV dengan kualitas HighDefinition (HD), atau 3 siaran Ultra High Definition (UHD/4K). Trendteknologi di masa depan akan memungkinkan satu frekuensi TV digital dapatmemuat hingga ratusan kanal siaran TV.
Perkembangan teknologiyang sangat cepat itu menjadikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 TentangPenyiaran tertinggal jauh dan semakin kehilangan relevansinya. Kita membutuhkanundang-undang yang baru, bukan sekadar revisi undang-undang yang lama, dan undang-undangpenyiaran yang baru itu mesti mampu mengantisipasi trend perkembangan teknologitelekomunikasi dan penyiaran dalam 5-10 tahun ke depan.
KEMBALIKAN FREKUENSI KENEGARA
Sungguh, ketimbangmemberikan kekuasaan negara atas udara—dalam konteks artikel ini ;frekuensi—kepada perusahaan-perusahaan yang mayoritas modalnya dimiliki olehsegelintir konglomerat, jauh lebih baik jika kekuasaan negara terhadapfrekuensi itu dikembalikan kepada negara, dalam hal ini ; KementerianKomunikasi dan Informasi. Ini akan lebih adil dan merata, lebih pro kepada diversityof ownership dan diversity of content.
Kementrian Kominfosendiri telah mengkaji soal ini, dan membuat dua draft untuk pengelolaan danpengaturan frekuensi. Draft yang pertama adalah memberikankepercayaan kepada 7 calon multiplexer—yang kesemuanya adalahSTASIUN TV JAKARTA—untuk memegang frekuensi masing-masing untuk seluruhwilayah/zona siar di Indonesia (setiap zona ada 6 multiplexer),lalu menyewakan beberapa channel (kanal) dalam frekuensi yangmereka pegang itu kepada stasiun-stasiun TV lainnya. Bisa dibayangkan betapakayanya para pemilik ketujuh stasiun TV itu! Dan tentu saja, betapaberpengaruhnya mereka!
Draft kedua adalah “menarikkembali” seluruh frekuensi analog yang ada untuk dipegang secara tunggal olehnegara, kemudian seluruh stasiun TV (Baik stasiun TV Jakarta maupun Daerah)dianggap sama dan dapat menyewa kanal-kanal yang ada—yang dipegang olehnegara—dalam setiap zona/wilayah siar.
Tentu saja, demikeadilan, keragaman dan pemerataan, dan demi pencapaian maksud pendirian negaraini—seperti telah diurai di atas—kita mestinya memilih alternatif kedua. Kembalikanfrekuensi kepada negara! Itulah alternatif terbaik bagi bangsa ini.Pengelolaan dan pengaturan frekuensi itu dapat melibatkan Badan Usaha MilikNegara seperti PT Telkom dengan catatan ; bahwa PT Telkomtidak dibenarkan memiliki stasiun televisi.
KOPERASI PENYIARAN,
SOLUSI JALAN TENGAH
Semangat untukmengembalikan frekuensi ke negara tentu akan mendapatkan tantangan besar dalamkondisi seperti sekarang ini. Kepentingan ekonomi konglomerat stasiun televisiakan turut memengaruhi opini publik untuk melakukan penolakan terhadap konsepsiyang sesungguhnya didasarkan pada semangat pendirian negara ini.
Perdebatan akan sangatsengit dan panjang, mulai dari aspek idiologis hingga aspek teknisdigitalisasi. Perdebatan yang mungkin saja akan memperlambat disahkannya RUUPenyiaran yang semestinya sudah selesai dibahas oleh Komisi 1 DPR RI.
Tanpa mengurangi semangatuntuk mengembalikan frekuensi kepada negara, dan sekadar untuk menghindarkandiri dari perdebatan yang panjang dan bertele-tele, saya menawarkan agar“kekuasaan negara terhadap frekuensi” tetap dipertahankan, tetapi “untukpengelolaannya negara mendelegasikan kepada suatu Koperasi Penyiaran”.
Dalam konsep Barat, yangsemacam ini disebut konsorsium. Tapi bukan itu yang penulis maksud. KoperasiPenyiaran tersebut benar-benar koperasi seperti yang dimaksud oleh MuhammadHatta, koperasi yang bekerja untuk kepentingan seluruh anggotanya.
Pasal 33 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 menyebutkan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersamaberdasar atas asas kekeluargaan”. Mengacu pada pasal tersebut, maka semestinyanegara mendelegasikan hak pengelolaan frekuensi kepada sebuah koperasi sebagaibadan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan.
Koperasi iniberanggotakan perwakilan seluruh lembaga penyiaran di Indonesia, dikelola olehpengurus yang diangkat dari dan oleh anggota, dan setiap anggota memiliki haksuara yang sama tanpa memandang besar kecilnya perusahaan penyiaran. Koperasiini yang akan menjadi regulator di bidang penyiaran dan menjadi satu-satunyaoperator multiplexer (penyelenggara pemancar frekuensi TV digital). Untuk dapatbersiaran, semua lembaga penyiaran menyewa kanal siaran ke koperasi ini.
Setiap lembaga penyiaran(anggota) membayar simpanan pokok dan simpanan wajib ke koperasi ini. Selainitu, setiap lembaga penyiaran (anggota) diwajibkan menyetorkan dana UniversalService Obligation (USO) ke koperasi.
Dana USO tersebutdigunakan untuk; Biaya operasional koperasi, Pembangunan dan pemeliharaanpemancar di seluruh wilayah Indonesia, Pembelian dan biaya operasional satelit,Biaya operasional Komisi Penyiaran Indonesia—sehingga KPI benar-benarmenjadi lembaga independen yang tidak dibiayai negara. KoperasiPenyiaran membayar lisensi frekuensi kepada negara.
Dengan konsepsi KoperasiPenyiaran ini, bisa tercipta persaingan usaha yang sehat dan saling membantusatu dengan yang lain, membuka peluang lahirnya stasiun-stasiun televisibaru—terutama di daerah-daerah sehingga secara langsung atau tidak langsungikut meningkatkan perekonomian daerah, dan tentu saja model Koperasi Penyiaranini memperbesar Pendapatan Negara Bukan Pajak.
*) anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindar dapil Gorontalo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015