Jakarta (ANTARA News) - Peneliti lembaga kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara mengatakan penundaan eksekusi mati terhadap Mary Jane Fiesta Veloso, terpidana mati atas kasus narkoba, adalah bukti lemahnya hukum di Indonesia.
"Kasus yang terjadi pada Mary Jane menunjukkan secara spesifik bahwa peradilan pidana Indonesia tidak layak menerapkan hukuman mati," kata Anggara dalam keterangan tertulisnya, Rabu.
Menurut ICJR, selama masa peradilan, Mary Jane tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai, tidak mendapatkan penerjemah yang layak dan tidak mempertimbangkan posisi perempuan Filipina itu sebagai korban penjebakan dan perdagangan manusia.
Anggara melanjutkan, indikasi Mary Jane menjadi korban trafficking karena oknum yang mengaku merekrut dan menjebak Mary Jane telah menyerahkan diri di Filipina adalah tamparan keras terhadap sikap Mahkamah Agung yang membatasi Peninjuan Kembali (PK).
"ICJR mendesak Mahkamah Agung mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) 7 tahun 2014 tentang pembatasan pengajuan PK pidana, karena novum (bukti baru) bisa datang kapan saja," ujar dia.
ICJR juga meminta Presiden Joko Widodo mempertimbangkan kembali penolakan grasi para terpidana mati yang lain. "Atau jika perlu Presiden meninjau ulang seluruh dugaan kelemahan proses peradilan pidana yang berhubungan dengan hak peradilan yang jujur bagi terpidana mati," kata Anggara.
ICJR berharap pemerintah mempercepat pembahasan Rancangan KUHP dan KUHAP untuk memerbaiki kelemahan KUHP dan KUHAP, terutama yang berkaitan dengan pelanggaran hak atas fair trial atau peradilan yang jujur.
KUHAP yang ada sekarang, menurut ICJR, tidak mencantumkan hal-hal khusus secara tegas, seperti perlindungan, standar bantuan hukum, dan tersedianya pengacara kompeten.
Bahkan, lanjut Anggara, permasalahan kesalahan hukum (miscariege of justice), larangan praktik intimidasi dan penyiksaan tidak diatur KUHAP.
Pewarta: Michael Teguh Adiputra Indonesia
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015