"Sepintas biaya retrofit murah, tapi sebenarnya tidak efisien karena hasil akhir yang didapat hanya 50 persen," kata Asmui di Jakarta, Jumat.
Ia mengemukakan hal itu terkait insiden terbakarnya pesawat tempur F-16 Fighting Falcon Block 52ID di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Kamis (16/4). Pesawat tempur hibah dari Amerika Serikat itu merupakan hasil retrofit dari tipe di bawahnya.
"Yang saya ketahui Indonesia sebenarnya akan membeli F-16 Block 52 baru sebanyak enam unit, tapi kemudian ditawari hibah 24 unit tipe di bawahnya yang bisa diretrofit," kata Asmui.
Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan, berkaca pada berbagai kasus retrofit alutsista hibah, hasil akhir yang didapat tidak bisa optimal atau maksimal hanya 50 persen.
"Dilihat dari anggaran negara yang dikeluarkan, memang lebih murah retrofit. Tapi ini akan menjadi mahal karena alutsista hasil retrofit pastinya digunakan dalam jangka waktu lama, yang mana perawatannya juga membutuhkan biaya lebih besar," katanya.
Menurut dia, ke depan Indonesia harus berpikir dua kali lebih panjang untuk menerima alutsista bekas dari negara lain.
Dikatakannya, dalam kasus hibah F-16, AS tetap diuntungkan meski memberikan secara cuma-cuma, karena minimal bisa mengosongkan hanggarnya dari pesawat yang tak dipakai lagi.
"Dan juga harus dicatat, hibah ini harus dilihat sebagai upaya AS menjaga hubungannya dengan Indonesia yang belakangan rajin membeli pesawat tempur dari negara lain," katanya.
Ia mendukung keinginan Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Agus Supriatna yang menolak masuknya alutsista bekas hibah dari negara lain di masa depan.
"Saya mendukung upaya peremajaan alutsista negara kita, tapi itu harus dengan yang baru. Jangan pertaruhkan nasib bangsa dan prajurit pengguna alutsista tersebut, hanya karena ingin mengeluarkan biaya yang murah," katanya.
Satu pesawat F-16 Fighting Falcon Block 52ID, Kamis (16/4) gagal take off dan terbakar di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Kepala Staf TNI AU menyebut kejadian ini akibat "malfunction" dan pihaknya langsung melakukan evaluasi menyeluruh.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015