"Pembelian kapal impor mencapai 1,25 miliar dolar AS per tahun. Ini sangat disayangkan," kata Ketua Ikatan Perusahaan Industri Galangan Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia, Eddy Kurniawan pada "Focus Group Discussion: Revitalisasi Industri Perkapalan Nasional" yang diselenggarakan BPPT di Jakarta, Rabu.
Penyebabnya, kata dia, kapal buatan dalam negeri relatif lebih mahal 10 persen-30 persen dibanding yang impor, selain itu waktu produksi relatif lebih lama, karena minimnya dukungan industri komponen dan penunjang, katanya.
Untuk membuat sebuah kapal di galangan domestik, ujar dia, modal dari lembaga keuangan dalam negeri juga sulit diperoleh, ditambah lagi suku bunga relatif tinggi dibanding dengan lembaga pembiayaan luar negeri.
Ditambah lagi galangan kapal untuk pembuatan maupun reparasi kapal yang jumlahnya 198 galangan di dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan nasional, tambahnya.
Menurut dia, jika Indonesia ingin memajukan industri kapal dan galangan kapal dalam negeri, langkah pertama adalah memberi insentif fiskal dan moneter bagi industri ini dengan menghapus Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk penyerahan pembangunan kapal dari 10 persen menjadi nol persen.
"Juga menghapus PPN penyerahan impor/pembelian komponen kapal dari 10 persen menjadi nol persen dan bea masuk komponen kapal dari 5-12,5 persen menjadi nol persen. Karena di dunia semua ini tidak lazim," katanya.
Setelah pemerintah memberi insentif fiskal dan moneter bagi industri galangan kapal, maka negara akan mendapat keuntungan yakni menghentikan potensi devisa yang hilang ke luar negeri dari pembelian kapal impor yang mencapai 1,25 miliar dolar AS per tahun, katanya.
Sementara itu, pakar hukum kelautan Dr Chandra Motik mengatakan, rencana Presiden Joko Widodo mengimpor 500-2.500 kapal dari Tiongkok untuk memenuhi kebutuhan program Tol Laut akan menganaktirikan industri kapal nasional.
Ia meminta segala peraturan yang menghambat perkembangan industri kapal nasional direvisi.
Pewarta: Dewanti Lestari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014