Pilkada langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengakuan tertinggi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Untuk itu dengan mengembalikan kedaulatan untuk memilih kepala daerah kepada DPRD merupakan langkah yang mencederai demokrasi,"
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Partai Hanura Wiranto mengatakan rakyat Indonesia dapat menilai siapa yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat terkait dengan keputusan sidang Paripurna DPR RI yang menetapkan Undang-Undang Pilkada untuk memilih kepala daerah melalui DPRD.
"Pilkada langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengakuan tertinggi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Untuk itu dengan mengembalikan kedaulatan untuk memilih kepala daerah kepada DPRD merupakan langkah yang mencederai demokrasi," kata Wiranto dalam keterangan tertulisnya, Jumat.
Wiranto juga menyesalkan sikap dari Fraksi Demokrat yang memilih untuk Walkout dalam persidangan semalam, padahal Fraksi Partai Hanura telah menyatakan mendukung sepenuhnya usulan yang dilontarkan oleh Fraksi Demokrat.
Menurut Wiranto, dengan aksi tersebut rakyat Indonesia dipertontonkan partai mana saja yang benar-benar memperjuangkan aspirasi dan kedaulatan rakyat dan mana yang hanya melakukan manuver hanya untuk pencitraan semata, yang seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat, namun faktanya ikut andil dalam ditetapkannya Undang-Undang Pilkada melalui DPRD.
Sementara itu Sekretaris Fraksi Hanura Saleh Husin menyatakan bahwa dengan aksi walkout yang dilakukan oleh Fraksi Demokrat, jelas menunjukkan sikap bahwa sebenarnya Fraksi Demokrat tidak mendukung pemilihan langsung oleh rakyat.
"Karena dalam kalkulasi awal sangat jelas tergambar, apabila tidak didukung oleh Fraksi Demokrat, maka koalisi PDIP, Partai Hanura dan PKB pasti kalah apabila dilakukan voting, pada saat lobi antarfraksi kami sudah sangat jelas mendukung usulan dari Fraksi Demokrat yang memasukkan 10 persyaratan untuk disetujuinya Undang-Undang Pilkada langsung oleh rakyat," ujarnya.
Saleh Husin membantah bahwa tidak benar jika dinyatakan bahwa usulan Fraksi Demokrat tidak mendapatkan dukungan dari seluruh partai, bahkan dalam pandangan Fraksi Hanura, seusai Fraksi Demokrat menyampaikan pandangannya, secara tegas Fraksi Hanura menyetujui seluruh usulan yang diajukan oleh Fraksi Demokrat tersebut.
"Namun kami sangat kecewa ketika akhirnya Fraksi Demokrat memilih untuk walkout, yang secara perhitungan sudah dapat dipastikan bahwa Fraksi-Fraksi yang menolak Pilkada langsung pasti kalah," ujarnya.
Sementara itu Anggota Panja RUU Pilkada dari Fraksi Hanura, Miryam S. Haryani, juga menyesalkan sikap Fraksi Demokrat yang dinilainya ambigu, disatu sisi katanya memperjuangkan kepentingan rakyat, namun disisi lain melakukan tindakan nyata yang pada akhirnya justru merampas kedaulatan rakyat.
"Saya benar-benar kecewa dengan sikap Fraksi Demokrat," katanya.
Sebagaimana diketahui Rapat Paripurna DPR RI melalui voting, menetapkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD dengan komposisi suara 226 yang menerima 135 yang menolak. Pada saat terakhir Fraksi Demokrat melakukan walkout karena menilai usulannya tidak diakomodasi oleh rapat paripurna.
(F006/R010)
Pewarta: Feru Lantara
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014
Sebuah pribahasa yang dipakai oleh entitas Sunda yang menggambarkan keserakahan seseorang atau sekelompok orang yang berupaya mendapatkan sesuatu yang serba lebih; lebih baik, lebih besar, lebih menguntungkan dsb, dengan melepaskan yang sudah ada walau masih terasa sedikit manfaatnya, namun karena upaya yang dilakukannya didasarkan pada orientasi jangka pendek dan cenderung pragmatis maka hasil yang didapat biasanya akan sebaliknya alias lebih buruk. Dalam konteks perpolitikan kita saat ini, pribahasa tersebut agak relevan dengan apa yang dipertotonkan sebagian para elit partai kemaren dalam membahas RUU pilkada. Saat Undang-undang pilkada langsung yang sudah ada sebagai produk reformasi dan baru berjalan beberapa tahun dimana rakyat mulai merasakan hasilnya, saat itu pula para wakil rakyat yang amat terhormat itu merubahnya. Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada dalam proses pemilihan langsung, namun dengan hadirnya para pemimpin daerah (provinsi, kota dan kabupaten) yang cukup kapabel dan kredibel sebagai efek pemilihan langsung, kiranya patut menjadi bahan pertimbangan para elit politik bahwasanya masa transisi demokrasi itu tidak bisa lantas sempurna semudah membalik telapak tangan. Perlu proses, perlu evaluasi progress, sehingga ketika muncul ekses-ekses negative dalam skala yang masih bisa diperbaiki tidak serta merta harus dicabut begitu saja. Karena sebagus apapun Undang-undang dibuat jika orang-orang yang membuat, melaksanakan dan mengawasinya hanya berorientasi pada kepentingan sesaat dan cenderung tidak memiliki integritas, maka hasilnya bisa lebih buruk. Padahal rakyat sangat menaruh harapan yang begitu besar kepada para wakil rakyat yang dalam setiap kampanyenya selalu mengatasnamakan dan demi kepentingan rakyat, tak terkecuali dalam perancangan dan pembuatan Undang-undang, karena Undang-undang dibuat tujuan akhirnya adalah kesejahteraan dan kedamaian rakyat. Jadi setiap keputusan yang diambil harus dilakukan secara arif dan bijaksana tanpa ada kesan spekulasi, dipaksakan dan conflict of interest bahkan lebih parah lagi dijadikan ajang politik balas dendam. Alhasil, proses demokratisasi yang sudah ada dalam genggaman yang terasa sedang berjalan ke arah yang lebih baik malah berbalik ke arah kehancuran demokrasi. Jadi seperti moro julang ngaleupaskeun peusing. Atau apakah karena diri saya yang kurang faham, hapunten atuh nya ka sadayana, permios akang bade kulem, he he he….…..