... tergantung kesepakatan semua pihak. Lebih penting adalah jika memberlakukan kembali GBHN harus ada undang-undang mengaturnya... "
Ternate, Maluku Utara (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah, Maluku Utara (UMMU), Irmon Machmud, menilai pemberlakuan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada masa mendatang itu baik.


Pembangunan dan arah yang ingin dituju Indonesia sebagai bangsa dan negara tidak akan tergantung pada pergantian kepresidenan.


"Tidak ada ruginya memberlakukan kembali GBHN, asalkan dalam pelaksanaannya tidak seperti GBHN pada masa Orde Baru," katanya, di Ternate, Kamis.


Menurut ketua Pusat Studi Politik UMMU itu, salah satu sisi positif dari pemberlakuan kembali GBHN adalah akan menciptakan kesinambungan pembangunan nasional walaupun terjadi pergantian presiden.

"Itu karena setiap presiden yang memimpin Indonesia akan selalu mengacu pada GBHN itu. Jadi, saya justru melihat banyak sisi positifnya bagi kepentingan bangsa Indonesia," katanya.

Sejak reformasi, GBHN tidak diberlakukan lagi, sehingga setiap presiden yang memimpin Indonesia dalam melaksanakan pembangunan lebih menekankan pada selera presiden bersangkutan.

"Akhirnya, setiap pergantian presiden terkesan akan terjadi perubahan mendasar kebijakn pembangunan nasional," katanya.

Menurut dia, konsep dan kebijakan pembangunan nasional yang dilakukan oleh masing-masing presiden lebih didasarkan pada hasil pemikiran dari orang-orang kepercayaan presiden.

Bahkan, bisa jadi dipengaruhi pula oleh titipan dari pihak asing yang memiliki kepentingan dengan Indonesia.

Indikasi ke arah itu dapat dilihat dari adanya berbagai kebijakan dari presiden setelah reformasi yang terkesan menguntungkan pihak asing, misalnya dalam perdagangan dan pengelolaan tambang migas dan tambang mineral lainnya di negara ini.

"Kalau ada GBHN maka hal seperti itu bisa dihindari karena dalam setiap melaksanakan kebijakan pembangunan nasional presiden harus memperhatikan arah dari GBHN yang sudah pasti dalam penyusunannya akan lebih mengutamakan kepentingan bangsa Indonesia," katanya.

Menurut Irmon, kalau GBHN diberlakukan kembali maka polanya harus diatur secermat mungkin agar tidak sampai membelenggu presiden, khususnya dalam melaksanakan berbagai program yang pernah dijanjikan kepada masyarakat saat kampaye pemilihan presiden.

Ditanya apa lembaga yang menyusun GBHN itu, ia mengatakan, adalah MPR yang berhak untuk itu, namun posisinya bukan sebagai pemberi mandat seperti pada masa Orde Baru, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan MPR.

"Persoalan apakah MPR dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara atau seperti sekarang, itu tergantung kesepakatan semua pihak. Lebih penting adalah jika memberlakukan kembali GBHN harus ada undang-undang mengaturnya," kata Machmud.

Pewarta: La Ode Aminuddin
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2013