Jakarta (ANTARA News) - Sedikitnya ada 44 negara, termasuk Indonesia, yang menerapkan sistem presidensial. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya ditemani Filipina dan Myanmar yang menerapkan sistem itu.
Sedangkan di benua Amerika, sebagian besar negaranya menerapkan sistem presidensial seperti Amerika Serikat (AS), Brasil, Meksiko, Argentina, Chile, Bolivia, Uruguay, Paraguay, Venezuela, Costa Rica, Ekuador, El Salvador, Guatemala, Colombia, Honduras, dan Nicaragua. Di Asia terdapat Afghanistan dan Turkmenistan. Sementara di Afrika antara lain ada Sudan, Sudan Selatan, Angola, Zambia, Gambia, Ghana, Liberia, Sierra Lione, dan Zimbabwe.
Di AS yang dijuluki sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, ada dua partai politik yakni Demokrat dan Republik. Begitu pula di Seychelles, Ghana, Republik Dominika, dan Honduras.
Di Filipina mirip dengan Indonesia yang memberlakukan multipartai dalam jumlah puluhan bahkan untuk partai lokalnya, begitu pula multipartai di Myanmar meskipun didominasi oleh partai yang didukung militer. Di Brasil dan negara-negara lain yang telah disebutkan itu juga menerapkan multipartai.
Peneliti dan pengamat politik dari The Indonesian Institute Hanta Yudha menyebut era multipartai telah membuat sistem presidensial berjalan setengah hati, tidak seperti masa Orde Baru yang berjalan efektif.
Penulis buku "Presidensialisme Setengah Hati" itu menyatakan sistem demokrasi di Indonesia ini tidak pernah tuntas dibicarakan. Amandemen Undang-Undang Dasar merumuskan sistem presidensial, tetapi realitasnya sulit dijalankan di Indonesia.
Ada upaya menyederhanakan situasi multipartai namun yang muncul kompromi yang lebar sehingga yang terjadi, pemerintah menghabiskan energi untuk berkompromi dengan barisan koalisi.
Siapa saja yang menjabat sebagai presiden akan dibelenggu keharusan berkompromi dengan partai-partai di parlemen, tetapi kompromi itu akan senantiasa bersifat rapuh dan cair. Akibatnya, lembaga presiden menjadi lemah justru pada waktu kewibawaan eksekutif yang kuat dibutuhkan.
Dalam bukunya itu Hanta menggagas pemikiran tentang penataan ulang desain institusi politik menuju sistem presidensial yang efektif. Penataan ulang desain institusi politik dan penyederhanaan sistem kepartaian memang diperlukan.
"Di negara-negara demokratis, sistem presidensial yang disertai banyak partai di parlemen dianggap para ilmuwan politik mancanegara menimbulkan ketidakstabilan yang berbahaya," kata Guru Besar Ilmu Politik Ohio State University, AS, William Liddle, dalam catatannya pada buku "Presidensialisme Setengah Hati".
Mantan Ketua MPR Amien Rais sepakat bahwa sistem kepartaian yang demikian lentur perlu dikoreksi. Penyederhanaan partai itu harus ditempuh secara sistematik sehingga masyarakat tidak lagi memilih partai sampai puluhan. Mungkin partai itu tinggal lima atau enam dan akhirnya tinggal dua.
Bila partai tinggal dua, dari segi pembiayaan hemat, efisien, dan efektif. Seperti di negara maju, Kanada, Australia, Inggris, AS, arah demokratisasi politik menuju partai yang sederhana.
Pendiri Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Anas Urbaningrum yang juga mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyatakan penyederhanaan partai politik menjadi dua sangat mustahil dilakukan di Indonesia karena pluralisme politik di Indonesia juga harus disalurkan melalui partai politik.
Ia menyebut lima hingga tujuh partai politik di Indonesia merupakan jumlah yang ideal dan cukup sederhana. Kalau ide penyederhanaan partai terlalu ketat akan dikritik keras sedangkan bila memenuhi selera pasar, efektivitas pemerintahan presidensial terkendala.
Memperketat persyaratan
Penyederhanaan partai bisa dimulai dengan membuat ketentuan dalam perundang-undangan menyangkut partai politik, misalnya, memperketat persyaratan pendirian partai politik dengan ketentuan harus memiliki basis daerah yang meliputi hingga 80 persen wilayah Indonesia, memiliki anggota yang tersebar hingga ke seluruh desa dan dibuktikan dukungannya dengan kartu anggota.
Selain itu menetapkan ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) di parlemen hingga lima persen sehingga jumlah partai di parlemen maupun peserta pemilu tidak terlalu banyak, dan tidak menolerir partai yang gagal electoral threshold untuk membentuk partai baru dengan nama baru.
Pemilihan anggota legislatif DPR, DPD, DPRD yang dilakukan serentak dengan pemilihan presiden dan kepala daerah juga bisa menjadi alternatif untuk menyederhanakan jumlah partai.
Pengamat masalah pemerintahan Pipit Rochijat Kartawidjaja berpendapat, jika pemilu anggota legislatif dan pilpres dilakukan serentak, dapat menghasilkan suara mayoritas untuk dua atau tiga partai di parlemen.
"Presiden akan benar-benar terpilih dari rakyat dan akan berpengaruh pada pemilihan anggota dewan," ujarnya setelah diskusi "Pemilu 2014 dan Prospek Pemerintahan Presidensil" di Perhimpunan Pergerakan Indonesia, Jakarta.
Sistem multipartai dengan dua atau tiga partai suara mayoritas merupakan tradisi politik di negara-negara Amerika Latin yang sangat cocok dengan sistem presidensial di Indonesia. Ia mencontohkan kondisi di Chile yang stabil karena ada disiplin berkoalisi yang sangat tinggi.
Seharusnya, kata Pipit yang menjadi pegawai publik di pemerintah Jerman, sistem presidensial di Indonesia sangat kuat, bukan terbayangi sistem parlementer karena koalisi partai yang tidak disiplin mendukung pemerintah. Maka, dengan pemilu bersamaan, Presiden yang terpilih mendapat dukungan mayoritas dan akan lebih leluasa dalam berkoalisi.
Hal tersebut akan menghasilkan efektifnya jajaran pemerintahan yang terpilih setelah pemilu. Begitu juga dengan suara yang terkumpul di legislatif, dapat meminimalisasi ketersinggungan saat pembuatan kebijakan pemerintah.
Melihat kondisi pemerintahan sekarang, sistem presidensial Indonesia masih tergolong lemah karena koalisi di parlemen yang main di dua kaki atau bahkan mencoba berkhianat. Dalam politik memang ada istilah "tak ada kawan atau lawan yang abadi kecuali kepentingan yang sama".
Oleh Budi Setiawanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2013