Amlapura (ANTARA News) - Komunitas muslim di Kampung Punia, Kabupaten Karangasem, Bali, menggelar tradisi "megibung" atau makan bersama di teras masjid seusai shalat Idul Fitri, Kamis.
"Ini budaya turun-menurun. Kami berkewajiban melestarikannya," kata Kepala Kampung Punia H Suemi.
Perkampungan di lereng Bukit Punia itu memiliki udara yang cukup sejuk. Kaum muslimat di kampung itu yang menyajikan "sagi" berisi nasi dan lauk-pauk, buah-buahan, dan jajanan pasar.
Masakan yang disajikan pun khas Bali yang identik dengan daging cincang atau "lawar", sate plecing, pepes ikan, kacang, dan urap-urap.
Lawar yang disajikan ibu-ibu komunitas muslim Kampung Punia berasal dari daging ayam, beda dengan megibung umat Hindu yang biasanya menggunakan lawar daging babi.
"Sagi" itulah yang kemudian dimakan beramai-ramai di teras masjid Attaqwa seusai shalat id. Untuk makanan penutup disuguhkan pula dodol dan jaje uli.
"Warga kami di sini terikat dalam satu kekerabatan antara yang Islam dan Hindu. Bahkan di antara warga kami ada yang berbeda keyakinan, tapi masih sedarah," kata Suemi.
Masjid Attaqwa sendiri berdiri di atas lahan hibah dari Raja Karangasem dahulu kala.
"Selain Lebaran, megibung biasa kami gelar pada saat Mauludan yang orang-orang sini menyebutnya `ngusaba`," katanya.
Pada saat Mauludan, komunitas muslim di Kampung Sindu Punia melakukan tradisi potong rambut.
"Dahulu kala mereka juga potong gigi seperti tradisi `metatah` bagi umat Hindu Bali. Namun sekarang sudah tidak lagi," ujarnya.
Menurut Suemi, warga Kampung Punia yang muslim dulunya juga menyandang nama depan Wayan, Made, Nyoman, dan Ketut seperti umat Hindu di Bali pada umumnya untuk menandai anak pertama, kedua, dan seterusnya.
Kampung Punia sudah ada sejak 600 tahun silam. Di kampung itu juga terdapat makam sesepuh mereka, Datuk Nurudin.
Datuk Nurudin adalah sosok yang pertama kali menyebarkan ajaran Islam di Pulau Dewata bagian timur itu.
"Makam itu selalu ramai penziarah pada hari Jumat," kata Suemi.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013