Menurut hukum di Indonesia, kasus ini akan memasuki masa kadaluwarsa pada 16 Agustus 2014, karena itu kami terlibat dalam menyampaikan desakan untuk pengungkapan kasus itu,"
Surabaya (ANTARa News) - LBH Pers Surabaya dan belasan LSM menyurati Presiden Yudhoyono dan Pelapor Khusus PBB mengenai Promosi dan Perlindungan Hak Atas Kemerdekaan Berpendapat serta Berekspresi untuk melaporkan kasus pembunuhan wartawan Bernas, FM Syafruddin (Udin) yang meninggal 16-8-1996.
"Menurut hukum di Indonesia, kasus ini akan memasuki masa kadaluwarsa pada 16 Agustus 2014, karena itu kami terlibat dalam menyampaikan desakan untuk pengungkapan kasus itu," kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Surabaya Athoillah, Jumat, mengomentari Hari Kemerdekaan Pers se-Dunia.
Dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Yudhoyono dengan tembusan kepada Menko Polhukam, MenkumHAM, Kemenlu, Polri, dan Jaksa Agung itu, LBH Pers dan belasan LSM itu mengungkapkan keprihatinan yang mendalam tentang kegagalan polisi Yogyakarta untuk mengidentifikasi dan membantu mengadili orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Udin.
"Udin adalah seorang jurnalis investigatif yang 10 tahun bekerja pada Bernas (koran/harian). Pada tanggal 13 Agustus 1996, ia diserang di rumahnya oleh dua penyerang tak dikenal yang memukulnya dengan batang logam hingga meninggal pada tanggal 16 Agustus 1996. Sampai hari ini, mereka yang bertanggung jawab atas kematian Udin belum dibawa ke pengadilan," ucapnya.
Oleh karena itu, pihaknya menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk membuka kembali penyelidikan atas kasus pembunuhan Udin dan mendedikasikan semua sumber daya yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengadili pembunuh sebelum undang-undang pembatasan pada pembunuhan berlaku pada 16 Agustus 2014.
"Kami ingin mengingatkan Pemerintah Indonesia sebagai negara anggota ASEAN berkewajiban menghormati prinsip yang terkandung dalam Pasal 2 ayat 2 (i) dari Piagam ASEAN, yang mengharuskan `menghormati kebebasan fundamental, promosi dan perlindungan hak asasi manusia, dan promosi keadilan sosial`," paparnya.
Selain LBH Pers Surabaya, LSM yang terlibat antara lain KontraS, Gayathry Venkiteswaran, Institut Studi Arus Informasi (Institut Studi Arus Informasi), AJI Indonesia, Imparsial, Pewarta Foto Indonesia (PFI), IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), Elsam, YLBHI, dan sebagainya.
Dalam laporan kepada PBB, LBH Pers dan belasan LSM itu mendesak Pelapor Khusus PBB untuk mengimbau Pemerintah Indonesia untuk membuka kembali penyelidikan pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin) pada 16 Agustus 1996.
Mereka menyerukan kepada Pelapor Khusus PBB untuk mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan yang tepat. Pada tahun 1996, Udin menulis serangkaian artikel yang berfokus pada proses seleksi Bupati Bantul di pinggiran Yogyakarta.
"Saat itu, ada sebuah artikel tentang suap Rp1 juta oleh Bupati Bantul Sri Rosso Sudarmo kepada Dharma Foundation, sebuah yayasan yang dijalankan Presiden Soeharto, untuk mengamankan pengangkatan dirinya kembali," tuturnya.
Setelah publikasi itu, Udin mengalami ancaman tindakan hukum terkait pencemaran nama baik, menerima tawaran suap untuk menghentikan laporannya, serta ancaman kekerasan. Dia mengajukan beberapa laporan tentang pelecehan itu ke Lembaga Bantuan Hukum di Yogyakarta.
"Pada malam 13 Agustus 1996, dua orang datang ke rumah Udin, lalu istrinya Marsiyem menemukan suaminya berlumuran darah dan tak sadarkan diri, lalu dibawa ke rumah sakit dan didiagnosa mengalami retak pada tengkoraknya hingga meninggal pada 16 Agustus 1996," ujarnya.
Namun, polisi mengarahkan fokus kematiannya pada perselingkuhan dengan saksi yang dibayar oleh keponakan Sri Rosso Sudarmo, namun pengakuan itu terbongkar hingga polisi menangkap sopir taksi Dwi Sumaji pada 21 Oktober 1996, namun Marsiyem yang melihat pembunuh suaminya saat membukakan pintu langsung membantah peran Dwi Sumaji itu.
"Kegagalan pemerintah Indonesia untuk mengadili mereka yang membunuh Udin lebih dari 16 tahun itu menguatkan sinyal bahwa represi pers dengan cara kekerasan merupakan taktik yang melanggar Pasal 19 ICCPR, karena itu Pelapor Khusus PBB hendaknya mendesak Pemerintah Indonesia untuk membuka kembali penyelidikan atas kasus Udin dengan mendedikasikan semua sumber daya yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengadili pembunuhnya," katanya.
(E011/C004)
Pewarta: Edy M Ya`kub
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013