Kehadiran mereka di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Riau tidak ada manfaatnya, justru malah memperparah kerusakan hutan di sana. Tidak boleh dibiarkan karena dikhawatirkan bisa menjual isu lingkungan hanya untuk mencari dana, sementara kinerja merek

Jakarta (ANTARA News) - Instruksi Presiden No 10 tahun 2011 tentang Penundaan (moratorium) pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut yang akan berakhir Mei 2013, DPR RI meminta pemerintah mengevaluasi dan menghentikan kerjasama dengan LSM asing Word Wide Fund for Nature (WWF) yang dinilai memperparah keadaan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau.

''Kehadiran mereka di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Riau tidak ada manfaatnya, justru malah memperparah kerusakan hutan di sana. Tidak boleh dibiarkan karena dikhawatirkan bisa menjual isu lingkungan hanya untuk mencari dana, sementara kinerja mereka di Taman Nasional Tesso Riau amburadul," ujar Wakil Ketua Komisi IV Firman Soebagyo di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu.

Firman menambahkan, Proyek di Tesso Nilo jelas gagal. Oleh karenanya, kalau pemerintah masih mempercayakan proyek lainnya kepada WWF, DPR RI akan menolak. "Kami akan segera memanggil pemerintah untuk menjelaskan ini," tandasnya.

Menurut Firman, pentingnya audit keuangan dan kinerja terhadap LSM asing WWF, sebenarnya sudah diatur dalam RUU Ormas. Karena itu, UU Ormas sangat diperlukan guna menjaga kedaulatan dan keutuhan Indonesia dari campur-tangan LSM asing seperti WWF.

"Siapa bilang UU Ormas mengekang kebebasan? Kebebasan yang seperti apa? Apakah sebagai negara berdaulat Indonesia harus telanjang bulat di depan dunia? Jangan samakan Indonesia dengan negara di Amerika dan Eropa yang wilayahnya kecil. Itu tidak mungkin. Indonesia itu luas dan menyebar sehingga perlu diawasi," tegas Firman.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar itu menambahkan, diperlukan audit terhadap para elite WWF yang bertanggung jawab terhadap proyek konservasi lingkungan yang menggunakan dana pemerintah.

"Siapa otak di balik mangkraknya proyek WWF di TN Tesso Nilo juga harus diusut. Keuangan mereka juga wajib diaudit," tegasnya.

Sejak tahun 2009, berdasarkan SK No.663/Menhut-II/2009, TNTN dikelola secara kolaboratif bersama LSM asing, WWF yang memiliki kantor pusat di Jenewa, Swiss itu.Saat itu luas TNTN mencapai 83.068 hektare dengan memasukkan areal hutan produksi terbatas yang berada di sisinya.

Namun berdasarkan analisis citra landsat, saat ini luas hutan alam TNTN hilang hingga 64 persen. Sedangkan pada areal perluasan, hutan alam yang hancur telah mencapai 83 persen.

Dalam sebuah kesempatan, Wakil Gubernur Riau, Mambang Mit meminta agar kinerja WWF yang hampir sepuluh tahun bekerja di TNTN Riau dievaluasi. Hal itu agar karbon dan habitat yang masih tersisa di TNTN bisa dipertahankan.

"Kalau ada perkembangan atau dinamika baru , maka perlu dilakukan evaluasi tentang keberadaan WWF. Sehingga Riau mendapatkan sesuatu yang sepadan," ujar Mambang.

Sebelumnya diberitakan, Direktur Konservasi WWF Indonesia, Nazier Fuad membantah tuduhan sebagai penyebab Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, karena LSM lingkungan ini tidak menglola kawasan taman.

Menurut Nazier, WWF Indonesia bukan pengelola Taman Nasional tersebut. Taman Nasional berada dalam kewenangan Kementerian Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi alam, dan pengelolaannya di lapangan berada di Balai Taman Nasional. Dalam kaitannya dengan Taman Nasional Tessa
Nilo, di Riau, WWF Indonesia bekerja di kawasan tersebut dalam konteks mendukung Kementerian Kehutanan dalam upaya melindung keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan di kawasan itu.

"Berdasarkan analisis Bank Dunia, dengan kecepatan perambahan di TN Tesso Nilo, hutan di sana akan terbabat habis pada tahun 2007. Tapi, berkat upaya dari kementerian kehutanan dan mitra LSM, dan forum amsyarakat setempat. masih ada sekitar 37 ribu ha hutan yang bisa dipertahankan di dalam TN Tasso Nilo," ujar Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF Indonesia.

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013