Kehidupan bersama yang harmonis secara natural selama 133 tahun adalah bukti sejarah betapa toleransi beragama bukan sekedar basa-basi."
Pangkal Pinang (ANTARA News) - Di saat "toleransi beragama" hanya menjadi sebuah klise dan penghias pada buku-buku pendidikan moral di sekolah dasar, atau bahkan menjadi "jualan" retorika para politikus, Kabupaten Bangka Barat menerjemahkannya dengan tepat dalam kehidupan nyata.
Toleransi beragama di Bangka Barat terwujud pada salah satu sudut kota Muntok, tepatnya di Kampung Tanjung, Kecamatan Muntok.
Di sana berdiri berdampingan sebuah kelenteng dan masjid. Warna merah menyala khas budaya Tionghoa terasa kontras dengan hijaunya masjid.
Uniknya, kekontrasan tersebut terasa padu, alih-alih paradoksal. Merah dan hijau, sungguh sebuah keselarasan di tengah-tengah hiruk pikuknya kota pelabuhan tersebut.
Kedua bangunan tersebut adalah Kelenteng Kong Fuk Miau dan Masjid Jami.
Seorang penjaga kelenteng, So Chin Siong, mengatakan Kelenteng Kong Fuk Miau dan Masjid Jami telah berdiri berdampingan lebih dari 130 tahun.
"Dan selama itulah kami saling mendukung, namun tidak mencampuri urusan keagamaan masing-masing," kata So Chin Siong.
Dikatakan So Chin Siong, jika Masjid Jami sedang melaksanakan ibadah, maka Kelenteng akan rehat dari kegiatannya dan memberikan kesempatan bagi jemaah masjid untuk melakukan ibaadah.
"Biasanya yang sering bentrok adalah kegiatan latihan Barongsai dan shalat Jumat. Jadi setiap jadwal shalat, kami rehat dulu," katanya.
Kong Fuk Miau
Sejarah pembangunan Kelenteng Kong Fuk Miau tak lepas dari migrasi para pekerja migran tambang timah asal China yang menganut Konfusianisme.
Para pekerja tambang bermigrasi dari China ke Pulau Bangka pada tahun 1800an pada saat timah sedang melimpah, dan seiring dengan itu, mereka mulai membangun tempat peribadatan.
Konon, Kelenteng Kong Fuk Miau dibangun oleh orang China dari suku Kuantang dan Fu Kien yang telah lama menetap di Muntok sejak 1820, hal itu membuat Kong Fuk Miau menjadi kelenteng pertama di Muntok.
Kelenteng yang dibangun saat Dinasti Ching itu dinamai berdasarkan nama asal daerah para pendiri kelenteng yakni China Daratan. Kong Fuk berasal dari kata Kwang Tung dan dan Fuk Kian yakni sebuah nama wilayah di China.
Kedua kata disingkat menjadi Kong Fuk. Sementara Miau artinya Rumah Dewa.
Kompleks Kelenteng terdiri dari tiga buah bangunan dengan bangunan utama berada di tengah. Bangunan utama memiliki atap berbentuk pelana, sedangkan komponen lain adalah gapura utama, pagar keliling, halaman, pagoda dan arca Singa.
Masjid Jami
Masjid Jami Muntok didirikan pada tahun 1879 oleh Tumenggung Kartanegara II sebagai wakil Kesultanan Palembang, dibantu tokoh dan masyarakat setempat termasuk para tokoh masyarakat Tionghoa kaya yang sudah masuk Islam dan Mayor Chung A Thiam.
Sejarah kerukunan antarumat beragama di Bangka Barat sudah dimulai sejak pembangunan Masjid Jami.
Mayor Chung A Thiam yang bertugas mengurus warga China perantauan di Muntok, meski dia eorang penganut Konfusianisme, ternyata dia merupakan penyokong utama pendirian Masjid Jami.
Empat tiang utama pada bangunan masjid adalah sumbangan Sang Mayor. Tiang itu terbuat dari kayu bulin.
Dalam masa Revolusi Kemerdekaan, Sang Putra Fajar, Bung Karno, Para pejuangan kemerdekaan seperti Bung Karno sering mampir ke masjid tersebut dan berbaur dengan masyarakat Muntok.
Masjid yang berdiri di atas lahan seluas 7.500 meter persegi tersebut memiliki atap dua susun yang menyerupai atap tumpang seperti pada masjid-masjid kuno di Jawa.
keselarasan
Meski memiliki pandangan masing-masing dalam menyikapi kehidupan, para pemeluk agama di kedua tempat peribadatan tersebut senantiasa rukun.
Kelenteng dan masjid yang mampu menjalankan aktivitasnya berdampingan selama 133 tahun membuktikan toleransi beragama yang luar biasa di Bangka Belitung.
"Kami tidak perlu membuktikan apa-apa, kehidupan bersama yang harmonis secara natural selama 133 tahun adalah bukti sejarah betapa toleransi beragama bukan sekedar basa-basi," kata So Chin Siong.
So Chin Siong mengatakan, sejak awal pendirian kedua bangunan, kedua etnis dan penganut kepercayaan yang berbeda tersebut tidak pernah terlibat dalam perselisihan.
"Semua berjalan dengan harmonis, tidak pernah terjadi keributan di sini," kata So Chin Siong.
Penulis yang menginspirasi Revolusi Prancis, pseudonim Voltaire mengatakan toleransi adalah konsekuensi dari kemanusiaan. Voltaire mengajak orang memaklumi bahwa manusia terbentuk dari kelemahan dan kesalahan, oleh sebab itu , manusia harus saling memaafkan kesalahan satu sama lain.
Tapi rupanya, di Muntok, kota pelabuhan yang dahulunya merupakan kota tersibuk kedua setelah Singapura tersebut, toleransi bukanlah konsekuensi dari kemanusiaan tapi terwujud atas sebuah kesadaran.
Kesadaran tersebut adalah kesadaran akan kebutuhan saling menghargai antaretnis dan antarpemeluk agama sehingga membuat kota tersebut bisa tetap eksis hingga usianya yang ke 278 tahun.
Di Bangka Barat, ternyata orang tidak hanya belajar mengenai perjuangan saat Bung Karno diasingkan di Bukit Menumbing, atau kayanya rempah Bangka dari tersohornya "Muntok White Pepper", tapi juga kerukunan antarumat beragama.
Masjid Jami dan Kelenteng Kong Fuk Miau sekarang menjadi peninggalan sejarah yang juga menjadi simbol kerukunan umat serta suku di Bangka.
Kedua bangunan tersebut telah menjadi cagar budaya yang dilindungi Undang-undang dan berada di bawah pengawasan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi.
(I027/A011)
Oleh Ida Nurcahyani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2012