Program diversifikasi pangan gagal membuat konsumsi pangan lokal seperti jagung, sagu, ubi, talas, kimpul, dan garut meningkat. Yang terjadi justru bahan pangan lokal - yang jelas bisa diproduksi massal di Indonesia - semakin ditinggalkan.
Jakarta (ANTARA News) - Akibat jumlah penduduknya yang sangat besar, konsumsi Indonesia pun terang bukan urusan yang sepele. Apa yang dimakan, bagaimana cara mendapatkannya, dan pergeseran pola konsumsi adalah topik yang selalu menarik dari segi apapun - ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik.
Sebuah buku tipis berjudul "Sebulir Gandum, Segudang Derita" yang diterbitkan oleh debtWATCH Indonesia (dWI) dan KoAGE mencoba membuka "gudang rahasia" ketergantungan Indonesia terhadap gandum.
Dalam kata pengantarnya, dWI tegas menjelaskan bahwa saat ini globalisasi telah menjadi semacam selimut muslihat atas ketergantungan negara-negara dunia ketiga terhadap negara maju dalam urusan tata niaga pangan.
Gandum (Triticum spp) masuk dalam suku padi-padian yang kaya akan karbohidrat, biasa dipakai untuk membuat tepung terigu, pakan ternak, dan difermentasi untuk menghasilkan alkohol.
Bulir gandum yang ditumbuk halus kemudian dikenal dengan tepung terigu dan digunakan sebagai bahan dasar mi, roti, dan kue. Kata terigu sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Portugis "trigo" yang berarti gandum.
Tanaman gandum jarang ditemukan di Indonesia karena kondisi lingkungan fisik yang tidak cocok - walaupun gandum merupakan tanaman subtropis.
Kalau memang tidak bisa menghasilkan gandum, mengapa tren pangan gandum di Indonesia terus menunjukkan peningkatan? Dan apa dampaknya?
Amerika dan PL480
Gandum mulai dikenalkan ke pasar domestik Indonesia sejak diterima dan diberlakukannya program kerjasama ekonomi antara RI dan pemerintah Amerika Serikat dengan namaPL480 pada tahun 1969.
PL (public law) 480 adalah kebijakan Amerika untuk memberikan produk pangan kepada negara-negara berkembang lewat berbagai pendekatan: lewat negara ("Government to Government"), bantuan hibah (humanitarian food needs), dan kredit konsesional.
Pada awal tahun 1969 skema impor gandum dimula dengan metode kerjasama antar pemerintah dengan tujuan membantu pembangunan ekonomi jangka panjang.
Amerika memanfaatkan kebijakan Indonesia yang saat itu ingin mencari bahan pangan alternatif pengganti beras, yang pada saat itu harganya sedang tinggi di pasaran internasional.
Diversifikasi yang Gagal Total
Namun upaya diversifikasi pangan - yang dicanangkan pada tahun 1974 - ini justru telah menjadi blunder terbesar rezim Orde Baru.
Bagaimana tidak?
Usaha memperkenalkan gandum sebagai alternatif bahan pangan malah membuat produk ini menjadi komoditas paling populer nomor dua setelah beras, padahal jelas Indonesia hanya bisa mengimpor dan tidak memproduksi gandum.
Program diversifikasi pangan gagal membuat konsumsi pangan lokal seperti jagung, sagu, ubi, talas, kimpul, dan garut meningkat. Yang terjadi justru bahan pangan lokal - yang jelas bisa diproduksi massal di Indonesia - semakin ditinggalkan.
Sebuah publikasi penelitian dari Departemen Pertanian (Deptan) menunjukkan bahwa pada tahun 1990 jumlah orang yang mengkonsumsi jagung dan ubi kayu masing-masing 9,3 persen dan 32,1 persen di kota dan 19 persen serta 49,6 persen di desa.
Tahun 1999, jumlah tadi menyusut jadi 4,8 persen dan 28,6 persen untuk masyarakat perkotaan yang memakan jagung dan ubi kayu. Sementara di desa angkanya menjadi 10,1 persen dan 39,8 persen untuk mereka yang melahap jagung dan ubi kayu.
Tren sebaliknya terjadi pada gandum dan produk-produk olahannya seperti mi. Laju pertumbuhan konsumsi pada periode 1990-1999 adalah 56,4 persen di kota dan 67 persen di desa.
Menurut data USDA (Departemen Pertanian Amerika Serikat) pada tahun 1998, gandum di Indonesia diimpor utamanya dari Amerika Serikat (43 persen), Kanada (22 persen), dan Australia (20 persen).
Namun pada tahun 2010, Australia telah mendominasi dengan menjual 3,2 juta metrik ton atau 66 persen total gandum impor yang dibeli Indonesia, sementara Kanada hanya menguasai 15,8 persen dan Amerika 13,2 persen.
Masih menurut data USDA, sekitar 60 persen gandum yang Indonesia impor diolah menjadi mi instan, 30 persen lagi untuk industri roti dan kue, sedangkan 10 persen sisanya untuk pembuatan biskuit.
Perlu diingat bahwa gandum hadir dengan beraneka "wajah". Ia adalah mi instan, mi ayam yang dijajakan oleh pedagang gerobak keliling, kue dan roti yang dijajakan di Pasar Senen, bakso, bakpau, burger, hot dog, pizza, kebab, donat, dan masih banyak lagi.
Gandum - dengan bentuk tepung terigunya - telah menjadi pilihan ratusan ribu atau bahkan jutaan pedagang/pengusaha kecil di Indonesia. Keberadaannya telah menjadi nadi bagi bisnis mereka. Dan ketergantungan mereka atas gandum baru dimulai pada akhir tahun 60-an atau sekitar 40 tahunan.
Lantas siapa yang paling diuntungkan dari kondisi ketergantungan yang sangat "mentereng" ini?
Penulis buku Aditya Syahbanu dan Arimbi Heroepoetri menjelaskan bahwa tata niaga gandum di Indonesia telah memperkaya kelompok Liem Soe Liong (Soedono Salim) secara luar biasa. Grup ini mengantongi hak penggilingan gandum PL480 yang diimpor oleh pemerintah dari Amerika.
Lebih lanjut penulis mengungkapkan, Liem lewat PT Bogasari-nya ditunjuk langsung oleh Presiden Soeharto untuk melakukan penggilingan gandum menjadi tepung terigu dan mengutip ongkos giling yang konon 40 dolar lebih mahal daripada kilang-kilang gandum lain di dunia (hal.27).
Kedaulatan Pangan
Sebagai negara yang tidak memproduksi gandum, ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan yang satu ini sungguh mengerikan. Proyeksi yang dirilis oleh www.uswheat.org secara terang-terangan menyebutkan bahwa pada tahun 2050 Indonesia akan mengimpor 7,1 juta ton.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena pada tahun 1980 konsumsi per kapita gandum baru 8,1 kilogram per tahun, namun pada tahun 2010 sudah menjadi 21,2 kilogram per orang per tahun.
Bahkan pada tahun 2050, jika laju konsumsi gandum terus dipertahankan seperti sekarang, konsumsi per kapita gandum di Indonesia akan menjadi 22,4 kilogram atau nyaris 2 kilo per orang per bulan!
Kedaulatan pangan di Indonesia patut digugat tidak hanya di bahan pangan yang berupa gandum. Gandum hanya sebagian dari bentuk ketergantungan Indonesia terhadap produk impor karena memang gandum tidak diproduksi di Tanah Air.
Namun daftar komoditas yang masih saja diimpor meskipun Indonesia bisa menghasilkannya pun kian memanjang dari tahun ke tahun.
Data yang diolah dari Departemen Perdagangan dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor 90 persen susu, 70 persen kedelai, 50 persen garam, 30 persen gula, 30 persen daging sapi, dan 30 persen bawang putih.
Bahan-bahan pangan yang disebutkan di atas semuanya bisa diproduksi di Indonesia. Semisal saja, panjangnya garis pantai Indonesia sanggup untuk menghasilkan garam yang berlimpah, namun pada kenyataannya kita pun masih mengimpor dari negara orang dan rela membayar dengan harga yang lebih mahal.
Garam kualitas satu yang dihasilkan petani lokal dihargai Rp325/kg sedangkan kualitas duanya dibandrol Rp250/kg. Sementara harga garam impor Australia justru dihargai Rp800/kg dan dari India Rp650/kg (Keputusan Menteri Perdagangan No. 21 tahun 2007).
"Keajaiban" ini tidak hanya membuat miris tapi juga gerah.
Hanya dalam kurun waktu empat dekade, bangsa Indonesia tidak saja mengalami pergeseran pola konsumsi bahan pangan pokok, tapi juga berubah menjadi bangsa pengimpor gandum dengan tingkat produksi dalam negeri yang nol sama sekali.
Buku "Sebulir Gandum, Segudang Derita" akan membawa pembaca ke tingkatan pemahaman yang lebih tinggi soal kemerdekaan dan kedaulatan pangan.
Selain sangat pantas untuk dibaca, buku ini juga gratis. Pembaca bisa memintanya secara langsung dengan menghubungi dWI dan KoAGE.
(E012)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012
debtWATCH Indonesia
Jl. Raya Bogor KM 19
Gg. Musholla Ar-Rohman No. 198E
Kelurahan Tengah, Kecamatan Kramat Jati
Jakarta Timur 13540
Indonesia
Telp./Fax.: (62-21) 80884655
email: debtwatch@yahoo.com