Dengan alat itu masyarakat sekitar daerah rawan longsor dapat mengantisipasi datangnya longsor dengan tanda nyala lampu dan bunyi sirine pada saat tanah bergeser dalam jarak tertentu.

Yogyakarta (ANTARA News) - Mahasiswa Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Herjuna Sandra Darnastri mengembangkan alat deteksi dini tanah longsor tepat guna bersensor cahaya.

"Dengan alat itu masyarakat sekitar daerah rawan longsor dapat mengantisipasi datangnya longsor dengan tanda nyala lampu dan bunyi sirine pada saat tanah bergeser dalam jarak tertentu," kata Herjuna di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, selama ini beberapa alat deteksi tanah longsor yang ada kebanyakan menggunakan potensiometer untuk mendeteksi terjadinya tanah longsor.

"Namun, alat yang saya kembangkan itu menggunakan sensor cahaya pada alat `light dependent resistor` (LDR) dan `light emitting diodes` (LED)," katanya.

Ia mengatakan, sensor cahaya dipilih karena potensiometer jika digunakan terus menerus dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan kerusakan.

"Selain menghasilkan nilai yang lebih stabil, alat deteksi dengan sensor cahaya akan lebih mudah dalam pembuatan mekanik dan kalibrasi alat," katanya.

Dalam proses pendeteksiannya, kata dia, beberapa patok secara paralel ditanamkan di bagian-bagian tanah yang rawan longsor. Patok lalu dihubungkan ke LDR dan LED dengan menggunakan kawat baja elastis.

Saat tanah bergeser, patok juga ikut bergerak menarik kawat baja sehingga LED menjauhi LDR. Selanjutnya akan diperoleh nilai "analog digital converter" (ADC) yang dikonversikan menjadi nilai pergeseran tanah dengan satuan sentimeter.

"Nilai pergeseran itu kemudian ditampilkan pada layar `liquid crystal display (LCD)," kata Herjuna.

Menurut dia, selain tampilan pergeseran tanah pada LCD, alat itu juga menghasilkan "output" berupa peringatan dini dengan lampu indikator dan bunyi sirine.

Ada tiga warna lampu indikator yang digunakan. Warna hujau menandakan terjadinya pergeseran tanah 2-3 cm dengan keadaan masih normal. Lampu kuning menandakan kondisi siaga satu dengan jarak pergeseran 3-4 cm, dan lampu merah berarti siaga dua mulai dari empat cm.

"Sirine akan berbunyi pada kondisi siaga tiga dengan jarak lima cm atau lebih. Pada alat simulasi itu saya menggunakan alat `buzzer` untuk menghasilkan suara," katanya.

Ia mengatakan, untuk aplikasinya dapat menggunakan alat yang menghasilkan suara yang lebih besar sehingga dapat didengar pada jarak yang lebih jauh.

Pergeseran tanah lima cm, menurut dia, dapat dinyatakan cukup membahayakan atau dapat menimbulkan tanah longsor. Pergeseran tanah lima cm akan membentuk rekahan tanah yang cukup besar.

Jika terjadi hujan, rekahan tanah itu dikhawatirkan akan dialiri air hujan di mana aliran air bisa membentuk bidang longsor yang mengakibatkan tanah longsor.

"Dengan alat itu masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor punya waktu untuk menyelamatkan diri dengan melihat lampu indikator dan suara yang ditimbulkan," katanya.

Ia mengatakan, alat itu diharapkan dapat digunakan di daerah-daerah rawan longsor di Indonesia sehingga dapat mengurangi korban jiwa.

"Alat itu memang dibuat untuk sekali pakai. Alat dirancang kokoh agar tidak terbawa longsor, tetapi jika terbawa longsor yang paling penting adalah bunyi sirine dari alat itu sudah memberi informasi secara cepat kepada masyarakat sekitar," katanya.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012