Moskwa (ANTARA News/AFP) - Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin pada Kamis menuduh pasukan khusus Amerika Serikat terlibat dalam pembunuhan penguasa terguling Libya Moammar Gaddafi.
"Siapa pelakunya?" kata Putin dalam siaran televisi telepon tahunan dengan rakyat Rusia.
"Pesawat tak berawak, termasuk milik Amerika Serikat. Mereka menyerang iringannya, kemudian dengan radio -melalui pasukan khusus, yang seharusnya tidak ada di sana- melibatkan yang disebut lawan dan pejuang membunuhnya tanpa pengadilan atau penyelidikan," katanya.
Rusia semula menyetujui serangan udara persekutuan pertahanan Atlantik utara NATO di Libya dengan abstain dalam pemungutan suara Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tapi, kemudian mengecam keras gempuran itu, yang Putin pada satu tahap membandingkannya dengan perang Salib.
Tenggapannya itu menandai kali pertama Rusia melibatkan pemerintah Amerika Serikat dalam kematian Gaddafi.
Putin juga mengecam Senator Amerika Serikat John McCain, mantan calon presiden dan sering mengecam Putin, yang memperingatkan dalam pesan di Twitter pada bulan ini bahwa "Kebangkitan Arab" segera tiba di Rusia.
"Saya tahu McCain," kata Putin, dengan menambahkan bahwa ia akan memilih tidak mengacunya sebagai teman.
"Itu bukan ditujukan ke saya. Itu tentang Rusia. Beberapa orang ingin memojokkan Rusia, sehingga tidak ikut campur dalam menguasai dunia," kata Putin.
"Mereka masih takut kemampuan nuklir kita," katanya mengacu pada Barat.
"Itu sebabnya kita seperti penggerus. Kita memiliki pendapat sendiri dan melaksanakan kebijakan luar negeri mandiri kita dan itu jelas mengganggu seseorang," katanya tegas.
Gempuran NATO di Libya meninggalkan luka pada benua Afrika, yang perlu waktu lama untuk menyembuhkannya, kata Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma pada akhir pekan lalu.
Zuma, yang merupakan bagian dari badan tingkat tinggi Afrika Bersatu (AU), yang gagal menengahi gencatan senjata di Libya, mengeluhkan peran beberapa negara Barat dalam kemelut Libya.
"Cara beberapa negara maju memperlakukan Libya mengakibatkan luka, yang Afrika perlu bertahun-tahun untuk menyembuhkannya," kata Zuma dalam kunjungan sehari ke Nigeria.
"Negara maju dengan rencana negara mereka membajak unjuk rasa murni demokrasi rakyat Libya untuk rencana mereka mengubah penguasa," kata Zuma.
Afrika Selatan memberikan suara untuk resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memberlakukan wilayah larangan terbang di atas Libya, namun Zuma kemudian menuduh NATO melangkahi amanatnya dengan serangan udara untuk melindungi warga dan menghalangi prakarsa perdamaian AU.
Ia menyatakan, Libya dibom berbulan-bulan atas nama menyelamatkan nyawa warga dan akhirnya pemimpinnya dibunuh, tidak ditangkap dan diadili bahwa ia melakukan kejahatan. Itu hanya bisa terjadi di Afrika, tidak di tempat lain," katanya.
"Jadi, kami menyeru rakyat Afrika bersatu," katanya tegas.
Zuma menyatakan pemimpin di temui puncak Afrika Bersatu bulan depan harus sangat sungguh-sungguh membahas masalah Libya untuk membantu negara itu kembali seperti sediakala.
Ia menyatakan, AU juga akan berupaya bekerja sama dengan Liga Arab untuk membangun demokrasi di Libya.
"Kita harus sungguh-sungguh memastikan bahwa kita tidak akan mengulangi yang terjadi di Libya," kata Zuma.
Mantan wakil perdana menteri Libya Ali Tarhuni beberapa hari sebelumnya menyatakan kedaulatan negaranya dalam bahaya.
"Saya melihat bahaya bagi kedaulatan Libya. Saya melihat ancaman terhadap kekayaan rakyat Libya," kata Tarhuni kepada wartawan pada temu pers, dengan ia disebut mantan wakil perdana menteri Libya.
(B002) 15-12-2011 17:55:58
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011