Makassar (ANTARA News) - Staf Ahli Bidang Energi dan Material Maju Menteri Riset dan Teknologi, Dr Agus R. Hotman, menyatakan bahwa pemakaian energi minyak Indonesia melebihi kapasitas produksi nasional sehingga menyebabkan kita harus mengimpor minyak dari Timur Tengah.
Saat ini produksi minyak nasional 0,9 juta barrel per hari, sementara konsumsi minyak nasional mencapai 1,3 juta barrel.
"Setiap bulan kita mengalami devisit sekitar 0,3 juta barrel yang harus ditutupi dengan mengimpor minyak dari Timur Tengah," ujar Agus Hotman dalam Sarasehan Pengenalan Iptek Nuklir di Unhas, Selasa.
Pada sarasehan yang dibuka Wakil Rektor IV Unhas Prof Dr Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA, Agus Hotman mengatakan, pada tahun 2010 sekirar 85-95 persen dari total energi nasional dihasilkan dari energi fosil berupa minyak, gas, dan batubara.
Sementara itu, ia mencatat, ketersediaan sumber energi di dunia untuk jenis minyak cukup 42 tahun lagi, gas 62 tahun, batubara 224 tahun. Yang memungkinkan adalah energi nuklir. Khusus untuk Indonesia, sumber energi minyak akan habis dalam waktu 23 tahun lagi. Oleh sebab itu diperlukan energi alternatif, seperti air yang baru sebagian kecil dimanfaatkan.
Secara persentase, ia mengemukakan, pada tahun 2011 kebutuhan energi nasional untuk industri mencapai 44,2 persen dari total kapasitas energi nasional. Sekitar 40,6 persen lainnya untuk transportasi, komunikasi 3,7 persen, dan rumah tangga 11,4 persen.
Untuk energi listrik, katanya, dapat berupa energi baru yang bersumber dari fosil yang sudah diolah dan energi terbarukan seperti bioenergi, matahari, angin, dan samudera. Namun ketersediaan energi tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan yang semakin besar.
"Untuk memenuhi kebutuhan yang besar tersebut diperlukan energi alternatif seperti nuklir. Sekadar perbandingan, satu gram uranium ekuivalen dengan 112 kg batubara," ucap Agus Hotman.
Menurut dia, hingga saat ini masih terdapat 30 persen penduduk Indonesia belum menikmati listrik, yang sebagian besar ada di Kalimantan dan Sulawesi. Produksi listrik kita pada tahun 2010 baru mencapai 35 GW ( gigawatt, 1 GW= 1000 megawatt), tahun 2025 ditargetkan 145 GW, dan 2050 diharapkan mencapai 550 GW. Kebutuhan listrik kita kebanyakan untuk kebutuhan industri dan transportasi. Kapasitas kelistrikan besar tersedia 47,9 persen.
Agus mengatakan, energi nuklir dan geotermal yang perlu dipikirkan ke depan dengan mempertimbangkan pencemaran udara. Meski selama ini energi nuklir lebih banyak mengemuka aspek negatifnya, namun dampak emisi C02 dalam rantai proses produksi listrik emisinya jauh lebih kecil, yakni 24 g-C02 eq/kWh. Kadar emisi ini jauh lebih kecil jika dibandingkan batubara yang mencapai 1.250 g-C02 eq/kWh.
Drs Totty Sumirat, MSc, dari Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dalam presentasinya yang berjudul "Nuklir untuk Kehidupan" mengatakan, persepsi masyarakat terhadap nuklir bermacam-macam, seperti takut terkena radiasi.
Iptek nuklir tidak hanya dapat dimanfaatkan untuk pengadaan listrik, tetapi juga dapat dimanfaatkan di bidang pertanian, misalnya pengembangan varietas unggul. Dalam bidang peternakan berupa alat deteksi birahi visual pada ternak sapi.
Iptek nuklir pun dapat dimanfaatkan untuk bidang kesehatan, misalnya dalam aplikasi diagnosis, aplikasi terapi. Dalam bidang sumber daya alam lingkungan (SDAL) Iptek Nuklir dapat dimanfaatkan di Indonesia. Misalnya penerapan dalam pengelolaan sumber daya air, kata Totty Sumirat.
Dwia Aries Tina Pulubuhu menyatakan menyambut baik kegiatan ini. Selama ini masyarakat hanya melihat nuklir dari satu sisi, yakni tentang dampak negatifnya, belum melihat sisi manfaatnya,
"Kehadiran staf ahli Menteri Riset dan tim dari BATAN ini menjelaskan secara utuh, sederhana dan tepat sasaran mengenai energi nuklir," kata Dwia Aries Tina
(T.KR-HK/F003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011