Benghazi, Libya (ANTARA News) - Pemberontak Libya mengharapkan mereka akan menerima usulan dari Muamar Gaddafi segera yang dapat mengakhiri perang yang telah berlangsung empat bulan, seorang pejabat senior mengatakan, Sabtu.
Abdel Hafiz Ghoga, wakil pemimpin Dewan Transisi Nasional (NTC), mengatakan para perantara telah mengindikasikan bahwa usulan dari pemimpin Libya itu sedang dikerjakan, menawarkan cahaya harapan yang sangat redup bagi perjanjian untuk mengakhiri pertumpahan darah, lapor AFP.
"Kami mengharapkan akan mendapat usulan itu secepatnya, ia tidak dapat bernafas," kata Ghoga.
"Kami ingin mempertahankan hidup, jadi kami ingin mengakhiri perang secepat mungkin," ia menambahkan. "Kami senantiasa meninggalkan pada dia suatu ruang untuk keluar."
Ghoga mengatakan NTC tidak berbicara langsung dengan Gaddafi, tapi mengerti melalui kontak-kontak dengan Prancis dan Afrika Selatan bahwa usulan itu telah dipersiapkan.
"Ada negara-negara yang dipilih oleh rezim Gaddafi untuk menyampaikan usulan pada Dewan Transisi Nasional, tapi kami belum menerima apapun hingga saat ini."
"Setiap usulan yang diberikan pada kami, kami akan memperhatikannya dengan serius sepanjang usulan itu menjamin bahwa Gaddafi dan rezimnya, lingkaran dalamnya, tidak tetap berkuasa," kata Ghoga.
Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma telah bertemu dengan Gaddafi pada Mei lalu tapi meninggalkan Libya tanpa perjanjian untuk mengakhiri konflik.
Pada Ahad, Zuma dijadwalkan akan menuanrumahi keempat kepala negara Panel Uni Afrika untuk Libya sebelum pertemuan puncak benua Afrika.
Pertemuan di Pretoria itu akan mencakup para wakil dari Mauritania, Republik Kongo, Uganda dan Mali -- yang akan berlangsung sebelum pembukaan pertemuan puncak AU di Guinea Equatorial pada 30 Juni.
Gaddafi, pendukung dalam waktu lama AU dan penganjur kuat integrasi benua yang lebih kuat, memegang pimpinan bergilir organisasi Afrika-raya itu pada 2009.
Banyak pemimpin AU secara terbuka telah mengkritik serangan NATO terhadap rezimnya, termasuk Zuma, yang awal bulan ini menuduh aliansi itu telah melanggar resolusi PBB yang membenarkan pemboman hanya untuk melindungi warga sipil. (S008/AK/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011